Minggu, 24 Mei 2015

Anonymous asked


Entahlah, aku sudah terlalu tua, aku lelah meladeni perdebatan denganmu. Mungkin tubuh dan fikiran ini hanya perlu tempat untuk bersandar, beristirahat sejenak untuk kembali meneruskan perjalanan. 

Kau selalu memancing emosiku, tapi sebaliknya kau selalu lebih dulu marah sebelum aku sempat marah. Lampiaskan marahmu, biarkan aku meredam amarahku sendiri. Kau selalu memintaku untuk mengungkapkan apa yang kurasakan, tapi saat itu juga ketika kuungkapkan, kau tangkis dengan segala macam alasan, seakan perasaanku ini tak penting. Ketika aku marah, kau justru menganggapku mendramatisir keadaan, baiklah mungkin diam memang lebih pas untuk menghadapimu karena aku sudah bingung harus bagaimana.
Ketika kubaca percakapanmu dengan dia, aku tahu, kamu masih seperti dulu. Dengan dia kamu bisa menunjukkan perhatianmu,
“Ada apa, pasti ada apa-apa sama kamu.”
Padaku, ketika aku marah, kamu pura-pura tak tahu. Justru sebisa mungkin kamu yang berganti posisi menjadi marah padaku. Padanya kata-katamu begitu lunak, padaku kata-katamu sekenanya. Padanya, kamu begitu antusias mendengarkan dan meresponnya, padaku, jangan tanyakan lagi. Ketika aku girang atau sedih meluapkan perasaanku, cibiran darimu yang kudapat. Ketika dia yang melakukannya, kau antusias menunggu cerita selanjutnya.
Maka ketika aku menuntut hal serupa, kau akan mengungkit masa laluku. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi? Membuka lembaran baru? Ah mungkin janji hanya sebatas permen loli di pasar pagi. Sebenarnya, apa aku masih menjadi seorang wanita? Jika aku wanita, mengapa aku tidak boleh sama dengan dia?

“Mungkin kau tak perlu banyak berpikir tentang cinta. Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. Jika hatinya terbuat dari batu, maka jadilah kesabaran dari air yang menetes kepadamu. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar