Entahlah, aku sudah terlalu tua, aku lelah meladeni
perdebatan denganmu. Mungkin tubuh dan fikiran ini hanya perlu tempat untuk
bersandar, beristirahat sejenak untuk kembali meneruskan perjalanan.
Kau selalu memancing emosiku, tapi sebaliknya kau selalu
lebih dulu marah sebelum aku sempat marah. Lampiaskan marahmu, biarkan aku
meredam amarahku sendiri. Kau selalu memintaku untuk mengungkapkan apa yang
kurasakan, tapi saat itu juga ketika kuungkapkan, kau tangkis dengan segala
macam alasan, seakan perasaanku ini tak penting. Ketika aku marah, kau justru
menganggapku mendramatisir keadaan, baiklah mungkin diam memang lebih pas untuk
menghadapimu karena aku sudah bingung harus bagaimana.
Ketika kubaca percakapanmu dengan dia, aku tahu, kamu masih
seperti dulu. Dengan dia kamu bisa menunjukkan perhatianmu,
“Ada apa, pasti ada apa-apa sama kamu.”
Padaku, ketika aku marah, kamu pura-pura tak tahu. Justru
sebisa mungkin kamu yang berganti posisi menjadi marah padaku. Padanya
kata-katamu begitu lunak, padaku kata-katamu sekenanya. Padanya, kamu begitu
antusias mendengarkan dan meresponnya, padaku, jangan tanyakan lagi. Ketika aku
girang atau sedih meluapkan perasaanku, cibiran darimu yang kudapat. Ketika dia
yang melakukannya, kau antusias menunggu cerita selanjutnya.
Maka ketika aku menuntut hal serupa, kau akan mengungkit
masa laluku. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi? Membuka
lembaran baru? Ah mungkin janji hanya sebatas permen loli di pasar pagi.
Sebenarnya, apa aku masih menjadi seorang wanita? Jika aku wanita, mengapa aku
tidak boleh sama dengan dia?
“Mungkin kau tak perlu banyak berpikir tentang cinta. Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. Jika hatinya terbuat dari batu, maka jadilah kesabaran dari air yang menetes kepadamu. “
“Mungkin kau tak perlu banyak berpikir tentang cinta. Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. Jika hatinya terbuat dari batu, maka jadilah kesabaran dari air yang menetes kepadamu. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar