Rabu, 07 Oktober 2015

Dear Mr. New


By : Ayupria


Dear Mr. New

Yang tidak selesai bukan berarti harus kembali dimulai.
Saatnya membuka lembaran baru.

Selamat datang di kehidupanku Mr. New. Mulai saat ini aku akan menghidupkanmu dalam setiap tulisanku.  Kamu akan menjadi subjekku, subjek dalam setiap nafas dari tarikan penaku, jangan tanya kapan aku akan lelah, karena itu tak akan. Entah kamu melihatku atau tidak, aku tak akan pernah menyerah. Hanya dengan mengingat namamu, aku bisa mencipta ribuan kata cinta. Sebatas Itulah. Karena dalam nyata, aku berusaha untuk lupa.
 

Minggu, 24 Mei 2015

Anonymous asked


Entahlah, aku sudah terlalu tua, aku lelah meladeni perdebatan denganmu. Mungkin tubuh dan fikiran ini hanya perlu tempat untuk bersandar, beristirahat sejenak untuk kembali meneruskan perjalanan. 

Kau selalu memancing emosiku, tapi sebaliknya kau selalu lebih dulu marah sebelum aku sempat marah. Lampiaskan marahmu, biarkan aku meredam amarahku sendiri. Kau selalu memintaku untuk mengungkapkan apa yang kurasakan, tapi saat itu juga ketika kuungkapkan, kau tangkis dengan segala macam alasan, seakan perasaanku ini tak penting. Ketika aku marah, kau justru menganggapku mendramatisir keadaan, baiklah mungkin diam memang lebih pas untuk menghadapimu karena aku sudah bingung harus bagaimana.
Ketika kubaca percakapanmu dengan dia, aku tahu, kamu masih seperti dulu. Dengan dia kamu bisa menunjukkan perhatianmu,
“Ada apa, pasti ada apa-apa sama kamu.”
Padaku, ketika aku marah, kamu pura-pura tak tahu. Justru sebisa mungkin kamu yang berganti posisi menjadi marah padaku. Padanya kata-katamu begitu lunak, padaku kata-katamu sekenanya. Padanya, kamu begitu antusias mendengarkan dan meresponnya, padaku, jangan tanyakan lagi. Ketika aku girang atau sedih meluapkan perasaanku, cibiran darimu yang kudapat. Ketika dia yang melakukannya, kau antusias menunggu cerita selanjutnya.
Maka ketika aku menuntut hal serupa, kau akan mengungkit masa laluku. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi? Membuka lembaran baru? Ah mungkin janji hanya sebatas permen loli di pasar pagi. Sebenarnya, apa aku masih menjadi seorang wanita? Jika aku wanita, mengapa aku tidak boleh sama dengan dia?

“Mungkin kau tak perlu banyak berpikir tentang cinta. Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. Jika hatinya terbuat dari batu, maka jadilah kesabaran dari air yang menetes kepadamu. “

Minggu, 26 April 2015

Senja . . .


Namanya Senja. Penampilannya senantiasa hangat, ceria, dan memikat. Meski dia sedikit rapuh dan juga perasa. Membalut setiap kesedihan dengan senyuman hangat adalah keahlian terbaiknya. Setiap orang akan merasa nyaman bersamanya; entah ketika hujan sedang turun, ataupun ketika mentari terik yang menyengat perlahan minggat bersama kehadirannya yang singkat. Senja tahu, bagi sebagian mereka kehadirannya adalah helaan napas panjang setelah kelelahan yang mendera. Kehadirannya adalah sebuah kata pulang bagi setiap perjalanan. Sayangnya, Senja tidak bisa mencintai dirinya sendiri dengan baik seperti halnya mereka yang memujanya. Senja selalu saja merasa ketakutan pada matahari yang pergi di ujung hari, pada suasana gelap yang menjelang, dan pada kesunyian yang menemani rehatnya waktu. 

Hingga suatu ketika Senja mengenal Awan. Awan begitu mengagumi keindahan rembulan, dan tentu saja dia mencintai Senja yang menjelang, dan malam gelap yang datang. Awan tahu cara mencintai dirinya sendiri dengan baik. Dia bahkan tidak pernah lupa menggenggam Senja ketika ujung hari benar-benar tiba dan ketakutan pada diri Senja kembali mendera. Awan juga mengajarkan Senja cara untuk mencintai hujan. Awan kerap kali membuat Senja tersenyum bahagia dengan menurunkan ribuan kubik hujan sepanjang hari. Senja mulai belajar mencintai dirinya sendiri, dan tentu saja; Awan.

Senja & Awan. Sebuah episode panjang yang penuh dengan impian. Ada cinta Senja di sana. Ada kesejukan Awan di dalamnya. Malam, rembulan, bintang, hujan, bahkan mentari pun terpaut di dalam kisah perjalanan syahdu Senja dan Awan. Meski terkadang angin menerpa terlampau kencang untuk melukai Senja dan Awan, mereka tetap bertahan.

Lalu sebuah hari yang kelam datang. Senja jatuh dan terluka. Seperti itulah Senja; dia bisa saja nampak hangat dan kuat, meski sebenarnya dia begitu rapuh dan perasa. Hari itu entah mengapa Awan tidak ada di sekitarnya. Senja merasa begitu takut dan payah. Dia tertatih mencoba bertahan. Ketakutannya pada ujung hari tiba-tiba saja kembali dan merasuki ruas-ruas perasaannya. Dia hanya bisa merasakan kebekuan, perih, dan keletihan yang sangat. Senja tahu Awan selalu melihatnya, meski tidak menopangnya.

Senja penuh dengan luka. Namun ia masih mencoba berjalan, bahkan berlari. Ia tahu Awan selalu melihatnya, meski tidak menopangnya. Itu cukup buat Senja. Sungguh, itu cukup buat Senja. Sampai suatu ketika, Senja tak lagi sanggup berjalan terlalu cepat dan Awan menghilang ditelan gelap. Di tengah keputusasaan dan perih di setiapnya; tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Mengguyur Senja dengan begitu keras. Senja suka hujan. Tapi kali ini hujannya terlampau deras. Senja tertatih payah karena luka yang kian menganga dan terasa begitu perih. Di sudut ketakutannya, Senja hanya bisa bertanya dalam hati; mengapa Awan justru menurunkan hujan untuk melukainya? Bukankah selama ini Awan yang mengajarkannya cara untuk bahagia?


Senja hanya diam. Dan untuk pertama kalinya Senja begitu ketakutan pada hujan. Senja ingin sekali menangis. Sayangnya, Senja hanya diciptakan untuk menghadirkan kehangatan dan bukan melampiaskan kesedihan. Maka semenjak hari itu, Senja selalu menangkupkan kedua lengannya dan tertidur di sebuah sudut gelap ketika bumi telah terlelap; untuk kemudian menangis sesenggukan di dalam tidurnya yang resah. nik salsabila