Rabu, 13 Agustus 2014

Cinta Tak Selalu Berujung Indah


Oleh : Ayupria

Aku memang mencintai dunia menulis, seakan ini adalah duniaku yang sesungguhnya. Menulis membuatku lepas mengumbar apapun yang aku rasakan, tanpa ada basa basi tanpa perlu merasa akan didengar atau tidak. Menulis mengubahku menjadi manusia bebas seutuhnya. Namun begitu, bukan berarti aku akan menuliskan sebuah elegi yang harus direnungi setiap pagi, bukan juga sajak berat untuk disantap setiap saat. Sesungguhnya, lewat tulisan-tulisanku aku hanya ingin berbincang dengannya, tentang hujan yang membuatku nyaman, tentang wangi rumput basah yang menenangkanku, tentang sejuknya embun dan birunya langit yang menyapaku tiap pagi dan tentang kita. Meski mungkin tak pernah kau baca dan tak pernah kau balas sekalipun.

Ada dua kesalahan dalam hidup,kesalahan pertama adalah kekhilafan sedang kesalahan yang kedua adalah kebodohan. Yang terakhir rupanya lebih pas untuk singgah sebentar sebagai gelar kehormatan yang busuk menempel pada diriku. Jika waktu dapat kuputar kembali, aku tetap tak yakin akan merubahnya, bahkan mungkin aku akan mengulanginya lagi, lagi dan lagi.

''tok..tok..tok..."
Suara ketukan itu membuyarkan lamunanku, lamunanku tentangmu, tentang kita masa itu serta memaksaku menghadapi kenyataan yang sekarang harus kutatap dalam.
"Ya sebentar." sahutku.
"Pihak pengantin pria sudah datang, kau tak ingin menemui mereka?" tanya adikku.
"Iya nanti kakak kesana, kamu duluan aja yah, bilang mbak sedang ganti baju, oke?"

Aku tak sanggup Tuhan, bagaimana ini? Aku takut, aku tak siap menghadapi ini. Ini adalah keputusan terbodoh yang pernah aku ambil. Bagaimana mungkin aku bisa menghabiskan sisa hidupku dengan orang yan sama sekali tidak aku cintai? Apa aku bisa melewatinya. Kepalaku pening, dengan sigap setan-setan terkutuk menyelimuti pikiranku. Mengubah semuanya serba terbalik, menyajikan iklan sirup yang paling nikmat di hadapanku, yap..pembersih lantai di kamar mandi terlihat sangat menggiurkan untuk diteguk.

"Sudah cukup."
Aku..aku..apa yang harus kukatakan pada mereka? haruskah aku berkata jujur dan menyakiti semuanya? atau aku harus kabur seperti pengecut? yang jelas tetap berbohong bukanlah keputusan yang bagus. Aku tidak ingin menyakiti mereka, tapi aku juga..ah..aku egois. Jika aku menghindar dan meninggalkan semua ini, itu artinya aku egois, membiarkan orang lain memupuk cintanya terhadapku kemudian aku datang mengatakan yang sebenarnya. Itu artinya akan melukai mereka dengan amat amat sangat. Sudahlah, bukankah cinta bisa datang belakangan? Apalagi dia begitu sangat mencintaiku, meskipun aku tidak demikian.

***

"Aku putus Ren, tapi aku tak bisa lepas darinya, bisa kau bantu aku?" kataku pada Rendra.
"Gimana bisa move on Sis, kamu aja masih terus ingat sama dia, mau kukenalin sama seorang cowok, dia udah lama menaruh hati sama kamu, jauh lebih baik dari cowokmu malah, yah kenalan dulu gapapa biar lebih dekat."
"Em, ogah ah Ren, kamu tahu kan aku kaya gimana, kamu udah kenal aku sejak kecil."
"Kalo yang ini beda Sis. Aku jamin kamu pasti suka."

Mungkin kata Rendra benar soal itu, move on hanyalah soal waktu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa segampang itu melupakannya yang telah lama bersamaku? Hari ini, Rendra akan mempertemukanku dengan Ghifar, saudaranya yang akan ia jodohkan denganku. Aku mencoba untuk meyakinkan diriku, bahwa Ghifar dapat menggantikan posisi Julian. Cuma soal waktu, itu saja pikirku.

Pertama kali aku bertemu dengan Ghifar, aku merasa ada yang ganjil, aku merasa pernah melihat orang ini, sosok ini, tapi dimana? apa ini de Javu? Oh bukan, rupanya Ghifar adalah orang yang waktu itu ada di foto yang mama berikan untukku, mau dijodohkan denganku. Hm.. kecurigaan segera menyergap otakku. Rendra pasti sedang sekongkol sama mama, pantaslah dia jadi begitu baik padaku, menemani masa-masa sedihku, mengantarkanku kemanapun aku mau, bahkan menuruti semua mauku. Rendraaaaaa.... Grrrr... Awas saja kau nanti.

Kesan pertama yang kutemukan pada Ghifar memang tak terlalu manis, aku juga tak berharap banyak sebelumnya akan menemukan sesuatu yang wah, yang sama seperti ketika aku pertama kali bertemu Julian di kedai itu. Ah gila, sudah gila rupanya aku, kembali lagi mengingat Julian dan Julian. Hari-hari berikutnya kuhbiskan dengan PDKT dengan Ghifar. Memang kuakui, Ghifar baik, terlalu baik sampai-sampai tidak ada celah sedikitpun untuk mengutuknya. Sial, aku mulai terombang ambing dalam perasaan yang kacau. Entah Ghifar hanya sebagai pelampiasan perasaanku terhadap Julian atau sebaliknya aku memang mencintainya? Yang kurasakan aku memang merasa nyaman dengannya, terlebih karena dia selalu nyambung kuajak berseloroh tanpa marah sedikitpun. Sesekali dia mulai mencuri perhatianku dengan mengatakan telah menungguku sekian lama. Lagi-lagi aku mengutuk Rendra yang telah menjodohkanku dengannya, ingin sekali kutanyakan dibayar berapa sih kamu Ren

Lelah bertambah lelah manakala Julian kembali memaki dengan mulut pedasnya, cemburu membabi buta pada Rendra yang jelas-jelas sudah ribuan bahkan jutaan kali kujelaskan. Sudahlah, tak perlu mengurusinya lagi, sudah cukup semuanya membuatku sakit. Tapi mungkin sebenarnya akulah yang menyakitinya. Yap, kami sama-sama saling menyakiti, kami berpisah bukan karena kami berhenti saling mencintai, kami hanya berhenti untuk saling menghujat dan menyakiti.

Sebulan berlalu, Ghifar memang kurang ajar, berani betul dia memintaku secara langsung ke mamaku tanpa sepengetahuanku. Aku dekat, bukan berati aku ingin menkah deganmu. Sayang, berita itu begitu cepat menyebar hingga orangtuamu pun ikut-ikutan modus ke mamaku meski cuma say hello mengatakan maaf lahir batin. Semuanya telah berbeda cerita kini, aku tanpa pernah kamu beri kesempatan untuk menjelaskan kepada mereka bahwa aku tak mau. Aku ingin pergi namun seakan kamu telah membuat opini bahwa aku mau Ghifar, membuatku merasa bersalah jika aku tak melakukannya.

Beberapa hari yang lalu, aku bertemu Julian. Aku melihat wajahnya, tatapan matanya yang sayu. Ingin sekali kuusap wajahnya, kupeluk erat sejadi-jadinya. Namun sepertinya itu tak mungkin lagi, aku tumbang dalam perasaan yang menenggelamkanku. Dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Wajah sayu itu, kembali mengingatkanku. Siapa lagi yang mengurusnya? Apa dia bisa mengurus dirinya sendiri? Bagaimana kalau dia sakit? Ah sudahlah, biar waktu yang menjawab.

***

"Siska..kamu di dalam nak?"
"Sis..Siska? Ghifar dan keluarganya sudah datang tuh, ayo cepat nak."
Suara itu terdengar sayup-sayup di telingaku, dibarengi dengan sederet kenangan yang berjalan di depan mataku. Kenangan indah yang mungkin tidak akan pernah terulang kembali. Sesaat aku masih mampu untuk menyebut namamu hingga akhirnya, semuanya menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar