Minggu, 23 November 2014

Hujan di Penghujung Hari

By : Ayupria



          Cinta memang persoalan abstrak yang tak dapat digambarkan, tak dapat pula diterawang apalagi dipelajari. Cinta adalah makhluk absurd paling fenomenal dalam kehidupan manusia, entah seperti apa rupanya, yang jelas dia dengan gampangnya membuat manusia hilang logika. Membalik hati menjadi bengkak, otak tak bergerak dan membuat mati sendi-sendi. Andai saja dapat kulihat rupanya, minimal dapat kuraba keberadaannya, pastilah sudah kutampar habis-habisan. Bagaimana mungkin dia bisa membutakanku, sedangkan aku sedang menatap tajam? Ah sudahlah, mengumpat pun bukan hal yang lumrah untuk dilakukan. Seperti orang gila yang baru saja keluar rumah sakit jiwa, dengan segenggam obat di tangannya, Gila!!!
Dan ternyata kamu penyebabnya, iya kamu. Kamu yang membuatku gila Ki. Kamu yang sudah membiarkan pikiranku menerawang jauh. Bahkan aku tak tahu dimana ujungnya ini akan ku akhiri. Sejenak aku berpikir, apakah ini pantas aku rasakan, apakah ini pantas untuk kita lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali menghantuiku, terlebih sesaat setelah aku selesai bercanda denganmu, berbagai pertanyaan mengambil giliran mencercaku. Apakah aku sadar dengan apa yang aku lakukan?

“Kling..”
“Ta, aku deg-deg an nih”
“kenapa Ki?”
“Besok aku ujian Ta, rada nervous nih, bisa ga ya ngerjainnya”
“bisa..bisaa..aku yakin kamu bisa, semangat donk Ki, berdoa, ntar aku doain spesial ga pake telor buat kamu deh”
“Eh dipikir ini badan kaya telor?”
“Ya abis mirip sih, beda-beda tipis, sama-sama bulet, hahahaha”
“Ki, aku ga bisa tidur nih, gara-gara kamu aku insomnia kan, tanggung jawab”
“Ish..ish..terlalu cepat menyimpulkan”
“Ta..Tata..”
“Katanya insomnia kok nyaringnya udah sampe sini..”
 
***
“Eh..maap Kiki, tadi malem aku udah pules, hehehehe..”
“Udah tahu, udah biasa, aku kan pengantar tidurmu”
“Sory deh Ki, bukan maksud hati, tapiiiii… hahahaha peace deh”

          Pagi ini, selalu istimewa seperti pagi-pagi sebelumnya. Selalu cair manakala kabarmu sudah kudengar. Meski hanya sebatas ini, namun aku tahu kamu pasti merasakan hal yang sama denganku. Aku nyaman denganmu Ki, kamu mengubah hidupku yang hambar menjadi manis, dengan sejumput perasaan yang kamu tebarkan di sudut-sudut hati.  Aku ingin teriak, berkoar kencang ke setiap penjuru jiwa. Bertandang ramah ke hatimu, mengetuknya berharap kau membukanya. Ah sudahlah Ki, sepertinya sarafku memang sedang tegang, lupakan kata-kataku barusan.

“Ta..aku pengen curhat nih, tapi jangan ceritain ke siapa-siapa ya Ta..”
“Alah, sok-sok an banget sih pake rahasia-rahasian Ki, udah kaya sinetron aja kamu nih”
“Beneran Ta, soalnya dia udah ada yang punya. Aku Cuma pengen cerita aja”
“Emang  tentang apa sih, dan tentang siapa sih Ki”
“Adalah Ta, kamu nih kepo banget ya, dengerin aja napa”
“Yaudah, buruan cerita ga pake bersambung yah, males dengerinnya”
“Iya Ki, jadi gini aku lagi kasmaran berat  sama cewek , tapi gimana ya Ta, dia udah ada yang punya.”
“Alah cemen kamu Ki, yang namanya cowok itu mesti gentle, selama janur kuning belum melengkung itu milik bersama, siapa aja boleh dapetin dia. Saranku sih, kalo kamu emang niat baik sama itu cewek, kamu tata masa depanmu, sama seperti dia menata dirinya, nanti waktunya kamu siap, katakan. Diterima ga diterima urusan belakangan. Yang penting kamu ga mati penasaran”
“Hm, gitu ya Ta.”
“Iyalah Ki, menurutku sih. Soalnya kadang cewek itu terbelenggu sama hubungan, mau mutusin ga enak, ga diputusin cowoknya ga pengertian. Sapa tahu dia justru sreg sama kamu, dan nunggu kamu ungkapin perasaanmu pada waktu yang tepat.”

     Deg… Jantungku serasa berhenti seketika, pecah berkeping-keping tak terhitung jumlahnya. Kepingannya meluruh mencapai sendi-sendi, membuat badanku lemas dengan ratusan tulang yang mendadak ingin lepas. Aku hanya bisa diam, menangis pun aku lupa bagaimana caranya. Aku kembali terdiam, mencoba mencerna makna di setiap perkataanmu Ki. Menjadi pendengar yang baik atas apa yang kau sampaikan. Semilir angin berhembus menerpa daun, rantingnya yang lemah terpaksa luruh bersama luruhnya seluruh sendi-sendiku terkena pecahan jantungku.  Ternyata perasaan ini hanya aku yang merasakan. Hanya euforia sesaat yang kemudian hancur ketika kau mengatakan jika kau telah mencintai seseorang.
      Sialnya aku telah berjanji pada diriku untuk menjadi teman yang baik untukmu, penghiburmu, penyemangatmu, hingga aku pun tak dapat lari dari kenyataan ini. Aku harus tetap terlihat santai dan seakan mendukungmu dengan seseorang itu, meskipun rasanya sangat sesak disini. Aku tetap ingin yang terbaik untukmu, meskipun kau tak tahu, tapi aku yakin suatu saat nanti kau akan tahu. Perlahan tapi pasti aku harus melepaskan perasaan ini, sudahlah, aku sudah cukup dewasa melakukannya.
***
“Gimana Ki, tesnya? Lancar?”
“Yah begitulah Ta, aku pasrah aja, doakan ya Ta. Aku mau yang terbaik buat dia nanti.”
“Emang kalo dia besok lagi kosong kamu yakin bakal diterima Ki?”
“Yakin aja deh, optimis Ta”
“Dengan badan telur rebus kek gitu? Becanda kali Ki?”
“Lha emang kenapa?”
“Em, mungkin perlu perbaikan sedikit, kamu kalo kurusan dikit ganteng banget lho Ki, dan yang jelas lebih sehat, emang kamu mau nanti waktunya kamu menghabiskan hidup sama dia kamu justru ga bisa menikmati kebersamaan kalian karena sakit?”
“Ya ga mau sih Ta, aku juga udah berusaha tapi gagal mulu nih”
“Sini Ibu dokter ajarin, sapa tau tips yang dari aku yang tokcer”

            Duh, beruntungnya wanita itu Ki, andai dia tahu seberapa keras kamu berjuang untuknya. Dan tetiba aku pun ingat, aku ingin memastikan Kiki berhasil mendapatkan wanita pujaannya, maka sedikit saran kuberikan untuknya, minimal untuk menambah daya tariknya. Bukankah bukti rasa sayang yang paling konkret adalah melihat orang yang kita sayangi dan kemudian berhasil. Begitu pun aku, aku akan kecewa ketika kamu kecewa Ki, aku akan menjadi orang pertama yang sedih jika kamu terpuruk.
            Aku memang munafik Ki, tapi tolong jangan sebut aku munafik. Karena perasaan ini sungguh bukan aku yang meminta, tapi Tuhan beri. Aku bukan seseorang yang berani menyatakan perasaanku, aku selalu takut mengakui. Aku menyukaimu, namun waktu tak membiarkan kita untuk bersatu. Mengertilah Ta, mungkin pada kehidupan selanjutnya atau selanjutnya lagi. Aku tak berjanji namun aku sedikit lega jika kau mau mengerti.
           Dan masih seperti biasanya, kau membuat kemunafikanku semakin menjadi. Kau keluarkan semua ocehan gilamu, yang romantisnya mengalahkan pangeran berkuda putih dalam mimpi. Aku tersengat dahsyat, setiap kali kamu memujiku. Tanpa kau tahu Ki, aku selalu tersenyum setiap kali kau katakan itu. Berharap lagi dan terus kau ulangi lagi. Aku yakin ada candu yang mencanduiku ketika kau mengatakannya.

“Ta, itu beneran kamu”
“Apanya yang beneran aku Ki?”
“Ya itu fotomu, kok tumben cantik banget”
“Plis deh, emang biasanya?”
“Biasanya juga cantik sih, cumaaaa…”
“Cuma apa Ki? Wah perasaanku mendadak ga enak nih, pasti mau ngatain nih hawa-hawanya”
“Eh beneran, emang kamu aslinya manis kok Ta. Kalau diliat-liat kamu emang manis,sayangnya…”
“Sayangnya apa?”
“Sayangnya ga ada yang ngeliatin, hahahaha..”
“Ah kampret kamu Ki”

         Aku tahu dan aku sadar, tidak semestinya aku merawat bibit euforia ini. Aku harus kembali sadar terhadap kenyataan. Tapi ini sudah terlalu jauh, bahkan aku mungkin telah lupa jalan pulang, aku tersesat Ki. Kembali ku tatap lekat-lekat diriku dalam cermin, dalam sekejap aku diliputi rasa bersalah sekaligus senang bukan kepalang. Bertanya pada diri sendiri bagaimana ini bisa terjadi. Huft, otak ini sepertinya memang sudah tidak berjalan, mungkin lusa harus kubedah supaya aku bisa mengeluarkanmu dari otakku.
***
              Minggu pagi ini rupanya menjadi momen spesial untukku, seharusnya sih. Hanya saja mungkin tidak untuk minggu ini. Sebulan sekali atau bahkan terkadang tiga bulan sekali Firdi mengunjungiku. Kadang aku kesal dengannya, menuntut hak ku untuk diperlakukan sebagai kekasih secara wajar saja tak bisa. Sinyal selalu menjadi alasan kenapa dia baru bisa menghubungiku sebulan sekali ketika dia ke kota. Bayanganku justru lebih mengenaskan, mungkinkah dia disana hidup primitif dengan suku pedalaman yang hanya pake koteka kemana-mana. Dan hari ini tiba-tiba Firdi sudah mejeng di teras rumah, tanpa kabar terlebih dulu. Bener-bener jailangkung, datang tak diundang, ga ngerti juga datangnya kapan, pulang pun tak diantar.

“Cinta lagi apa?” tanya Firdi.
“lagi ga jelas nih” jawabku singkat
“Ga jelas kenapa?”
“Ya ga jelas nungguin kamu.” Sentakku kesal.
“Cinta kok aneh sih?”
“Yang aneh itu kamu Fir.”
“Aneh kenapa sih” tanya Firdi penuh selidik
“Iya aneh, soalnya udah kaya jailangkung, ga ngerti kabarnya gimana, tahu-tahu nongol depan pintu, untung receh dirumah abis, kalo ga mungkin udah tak kasih receh biar cepet-cepet pergi.”
“Hm, kok gitu sih. Aku kan udah bilang kalau disana sinyal susah, harus ke kota.”
“Kamu yang aneh Fir, emang ga ada pekerjaan lain apa? Sampe kamu bela-belain disitu, kamu naksir sama cewek primitif? Emang disini udah ga ada tempat yang mau nampung kamu ya? Aku punya pacar tapi ga ngerasa punya pacar tahu gak”
“Iyadeh, perakitannya masih beberapa tahun lagi soalnya, aku harus fokus Ta.”
“Yaudah makan tuh roket jadi-jadianmu, jangan salahin aku tapi ya kalau nanti aku naksir orang disini.”
“Jangan gitu dong Ta, kamu kan tahu aku ngidam ini sejak dulu. Kenapa aku pilih tempat terpencil karena biar ga banyak orang yang tahu, nanti waktunya ku tunjukkin ke dunia kan bisa heboh, kamu juga ikut tenar Ta”
“Aku ga ngerti deh sama jalan fikirmu Fir, kamu terlalu larut dalam duniamu sendiri, bahkan mungkin sudah ga ada tempat di hatimu buat namaku. Apa iya besok kalau kita nikah bakal kaya gini terus?”
“Kamu ini kenapa sih Ta, ga biasanya kaya gini, biasanya kamu ga pernah komplain sama proyekku.”
“Iyadeh Ta. Aku benar-benar minta maaf, kita baikan yuk. “
               
          Perasaan bersalah mulai merayapi tubuhku, beranjak dari ujung kaki berakhir tepat di ujung kepalaku. Memaksaku berpikir kembali, apakah aku terlalu keras bicara dengan Firdi? Dia memang selama ini selalu sibuk dengan dunianya, tapi toh dia tak pernah komplain dengan duniaku juga. Tapi bukankah cinta itu menuntut? Aku semakin sangsi dengan hubunganku, ini cinta atau hanya sekedar hubungan kebiasaan? Hubungan kami hambar, tak ada naik tak ada turun, tapi datar setiap waktu. Namun begitu, tak sepantasnya aku membiarkan hatiku terisi nama lain bukan?
          Semakin hari semakin bertambah rasa bersalahku ketika aku merasakan kenikmatan dan kenyamanan yang tak seharusnya dari Kiki. Meskipun aku tahu itu hanya perasaanku saja, aku yakin Kiki tak bermaksud melakukannya. Itu hanya karena dia tidak tahu tentang perasaanku. Andai saja dia mengetahui bibit-bibit cinta ini, pastilah dia akan mundur teratur. Aku? Jelas tak ingin itu terjadi, tapi sampai kapan ini akan terjadi?

Bersambung…

Selasa, 11 November 2014

Menunggu Negeriku Membusuk !!!



Ayupria
Hujan pagi ini, benar-benar mengantarkan sebuah kabar kesedihan. Bersamanya, berita dari seberang datang ke pekarangan.Mengetuk tiap-tiap pintu nurani untuk sedia membuka hati, mempersilahkannya singgah untuk beberapa saat menyadarkan setiap jiwa yang tertidur. Aku menyambutnya, mendengarkan keluh kesahnya. Tentang negri yang tak lagi asri, porak poranda oleh mereka yang berkuasa. Tak ada lagi semilir angin kebahagiaan untuk orang-orang. Kebahagiaan serta keceriaan itu seakan meredup seiring tahun berganti, semakin buruk manakala mereka tak lagi dapat merasakan apalagi mendengar.

Tuhan, kenapa negriku seperti ini?
Aku meracau dalam tidur, aku mendendam dalam diam, dan aku mengumpat kala sempat. Semuanya seakan aku tak mengenalinya. Dimana jiwa-jiwa yang rajin itu, jiwa cerdas dengan etos kerja yang kuat. Dimana sesepuhku, leluhurku saat ini? Bisakah mereka kembali dan mengajarkan kepada anak cucunya tentang arti sebuah kekuatan? Keberanian?

Hiruk pikuk negri dengan segala gemerlapnya, gaya hidup, sekulerisme, kapitalisme..
Aku geram, geram sekali. Seakan ingin kumaki setiap penerus bangsa yang malas, yang banyak bicara tapi omong kosong. Seharusnya mereka akan lebih mudah hidup dalam dunia saat ini dibandingkan dengan seribu tahun yang lalu, namun kenyataannya, mereka justru menjadi keset wc di negeri sendiri. Muaka aku melihat anak sekolah yang kerjaannya nongkrong, bolos, merokok, tawuran, main gadget tiada kenal waktu. Ingin kutampari mereka semua. Mau jadi apa negeri ini kelak jika penerusnya seperti itu? Sedangkan orang-orang pendatang, mereka datang dengan segenap kekuatan penuh, melibas mereka yang tidak bisa mengikuti zaman. Oalah Gusti... kenapa tak kau musnahkan saja mereka ini?

Ketika pemerintahan sudah tak dapat terselamatkan, siapa yang peduli? Ketika Eksekutif, yudikatif dan legislatif sudah ditunggangi mereka yang gemar bagi-bagi korupsi, berjamaah pula. Hanya media yang mampu menyetir. Namun negriku ini istimewa Gusti, media tak lagi jujur. Mereka menadah koin-koin receh dari pemerintahan. Menerima pesanan berita setingan, berita busuk yang aku yakin kau tak akan sudi menciumnya. Sudahlah Gusti, tunggu apa lagi? Hancurkan saja negriku, toh memang sudah hancur, lalu kita menunggu apa? menunggu mereka sendiri yang meratakannya? Ah terlalu lama itu Gusti.


***

Jauh di pedalaman negeri, ketika padi tak mampu menyediakan nasi. Lumbung-lumbung sepi, dapur pun tak mengepul. Laki-laki menjadi pemalas, takut terik dan gemar meringkuk dalam sarungnya, maka inilah jelas pertanda kehancuran. Ibu, Ibu, Ibu.. sekali lagi Ibu.. mereka harus turun tangan membantu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Memastikan anak-anaknya tetap kenyang dan otak mereka bekerja dengan baik untuk belajar. Persetan dengan suaminya, mungkin dalam hati mereka pun akan menyumpahi mati saja kau suamiku. Dan laki-laki seperti ini memang seharusnya di eliminasi dari negeri ini, mereka perusak paling alami.

Anak-anak, tak lagi mendapatkan hak nya secara penuh. Tak lagi mendapatkan didikan yang baik secara penuh oleh Ibu mereka, bukan apa-apa, karena waktunya tersita untuk mengurusi remeh temeh, urusan dapur dan dompet. Anak-anak menjadi kurang kasih sayang, kurang didikan, kurang motivasi, bahkan terburuk adalah meniru ayahnya. Ini belumlah separah yang akan kuceritakan pada bait selanjutnya.

Indonesia terkenal akan ekspornya, sayangnya ekspor disini adalah ekspor manusia, ya..buruh-buruh rumah tangga berpendidikan rendah. Nekat berangkat dari kampung, berharap nasib yang lebih baik untuk keluarga mereka. Rumah bagus, motor bagus, sawah ladang yang luas. Tapi mereka kehilangan harta yang sesungguhnya, anak mereka. Sedangkan sang suami leha-leha menyeruput kopi menghisap rokok, tidur nyenyak di kasur empuk. Cukuplah sang anak diberi lembaran pak karno untuk jajan sesukanya. Tanpa peduli akan dipakai untuk apa uang itu, tanpa peduli mereka juga butuh kasih sayang. Bahkan sedikit sekali ayah yang peduli anaknya sekolah atau tidak. Sampai akhirnya menghasilkan beribu bahkan berjuta pemuda generasi otak rendah. Gampang dibodohi, gampang ditipu, gampang diperdayai dan dipermainkan oleh mereka yang cerdas, sampai akhirnya mereka menjadi keset di negeri sendiri.

Rumah dan ladang yang dicari bertahun tahun akhirnya hilang juga, tergusur proyek mereka yang cerdas. Otak sudah hilang, harta pun habis. Percuma dan kesia-sia an upaya yang telah dilakukan si Ibu. Hanya menyesal meratapi nasib. 

***

Kenapa sih tidak ada yang membuka mata?
Kenapa sih tidak ada yang Peka?
Kenapa untuk masuk ke perusahaan seleksinya ketat, sedangkan untuk menjadi guru ecek-ecek.
Kenapa sih guru yang bagus harus melewati tahap pns kalau nyatanya pns sendiri sebagai ladang korupsi
Kenapa sih mereka yang benar-benar berdedikasi untuk negeri justru tak menerima imbal yang patut

Ibu..dan Guru.. 
Mereka adalah mesin pencetak generasi hebat, tolong perhatikan baik-baik kualitas mereka
jangan sampai kesalahan akan terus berlanjut dan tinggal menunggu waktu untuk kita menjadi keset sejati

Ayupria