Cinta
memang persoalan abstrak yang tak dapat digambarkan, tak dapat pula diterawang
apalagi dipelajari. Cinta adalah makhluk absurd paling fenomenal dalam
kehidupan manusia, entah seperti apa rupanya, yang jelas dia dengan gampangnya
membuat manusia hilang logika. Membalik hati menjadi bengkak, otak tak bergerak
dan membuat mati sendi-sendi. Andai saja dapat kulihat rupanya, minimal dapat
kuraba keberadaannya, pastilah sudah kutampar habis-habisan. Bagaimana mungkin
dia bisa membutakanku, sedangkan aku sedang menatap tajam? Ah sudahlah,
mengumpat pun bukan hal yang lumrah untuk dilakukan. Seperti orang gila yang
baru saja keluar rumah sakit jiwa, dengan segenggam obat di tangannya, Gila!!!
Dan ternyata
kamu penyebabnya, iya kamu. Kamu yang membuatku gila Ki. Kamu yang sudah
membiarkan pikiranku menerawang jauh. Bahkan aku tak tahu dimana ujungnya ini
akan ku akhiri. Sejenak aku berpikir, apakah ini pantas aku rasakan, apakah ini
pantas untuk kita lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali menghantuiku,
terlebih sesaat setelah aku selesai bercanda denganmu, berbagai pertanyaan
mengambil giliran mencercaku. Apakah aku sadar dengan apa yang aku lakukan?
“Kling..”
“Ta, aku deg-deg an nih”
“kenapa Ki?”
“Besok aku ujian Ta, rada nervous nih, bisa ga ya ngerjainnya”
“bisa..bisaa..aku yakin kamu bisa, semangat donk Ki, berdoa, ntar aku doain spesial ga pake telor buat kamu deh”
“Eh dipikir ini badan kaya telor?”
“Ya abis mirip sih, beda-beda tipis, sama-sama bulet, hahahaha”
“Ki, aku ga bisa tidur nih, gara-gara kamu aku insomnia kan, tanggung jawab”
“Ish..ish..terlalu cepat menyimpulkan”
“Ta..Tata..”
“Katanya insomnia kok nyaringnya udah sampe sini..”
“Ta, aku deg-deg an nih”
“kenapa Ki?”
“Besok aku ujian Ta, rada nervous nih, bisa ga ya ngerjainnya”
“bisa..bisaa..aku yakin kamu bisa, semangat donk Ki, berdoa, ntar aku doain spesial ga pake telor buat kamu deh”
“Eh dipikir ini badan kaya telor?”
“Ya abis mirip sih, beda-beda tipis, sama-sama bulet, hahahaha”
“Ki, aku ga bisa tidur nih, gara-gara kamu aku insomnia kan, tanggung jawab”
“Ish..ish..terlalu cepat menyimpulkan”
“Ta..Tata..”
“Katanya insomnia kok nyaringnya udah sampe sini..”
***
“Eh..maap Kiki, tadi malem aku udah pules, hehehehe..”
“Udah tahu, udah biasa, aku kan pengantar tidurmu”
“Sory deh Ki, bukan maksud hati, tapiiiii… hahahaha peace deh”
“Udah tahu, udah biasa, aku kan pengantar tidurmu”
“Sory deh Ki, bukan maksud hati, tapiiiii… hahahaha peace deh”
Pagi
ini, selalu istimewa seperti pagi-pagi sebelumnya. Selalu cair manakala kabarmu
sudah kudengar. Meski hanya sebatas ini, namun aku tahu kamu pasti merasakan
hal yang sama denganku. Aku nyaman denganmu Ki, kamu mengubah hidupku yang
hambar menjadi manis, dengan sejumput perasaan yang kamu tebarkan di
sudut-sudut hati. Aku ingin teriak,
berkoar kencang ke setiap penjuru jiwa. Bertandang ramah ke hatimu, mengetuknya
berharap kau membukanya. Ah sudahlah Ki, sepertinya sarafku memang sedang
tegang, lupakan kata-kataku barusan.
“Ta..aku pengen curhat nih, tapi jangan ceritain ke
siapa-siapa ya Ta..”
“Alah, sok-sok an banget sih pake rahasia-rahasian Ki, udah kaya sinetron aja kamu nih”
“Beneran Ta, soalnya dia udah ada yang punya. Aku Cuma pengen cerita aja”
“Emang tentang apa sih, dan tentang siapa sih Ki”
“Adalah Ta, kamu nih kepo banget ya, dengerin aja napa”
“Yaudah, buruan cerita ga pake bersambung yah, males dengerinnya”
“Iya Ki, jadi gini aku lagi kasmaran berat sama cewek , tapi gimana ya Ta, dia udah ada yang punya.”
“Alah cemen kamu Ki, yang namanya cowok itu mesti gentle, selama janur kuning belum melengkung itu milik bersama, siapa aja boleh dapetin dia. Saranku sih, kalo kamu emang niat baik sama itu cewek, kamu tata masa depanmu, sama seperti dia menata dirinya, nanti waktunya kamu siap, katakan. Diterima ga diterima urusan belakangan. Yang penting kamu ga mati penasaran”
“Hm, gitu ya Ta.”
“Iyalah Ki, menurutku sih. Soalnya kadang cewek itu terbelenggu sama hubungan, mau mutusin ga enak, ga diputusin cowoknya ga pengertian. Sapa tahu dia justru sreg sama kamu, dan nunggu kamu ungkapin perasaanmu pada waktu yang tepat.”
“Alah, sok-sok an banget sih pake rahasia-rahasian Ki, udah kaya sinetron aja kamu nih”
“Beneran Ta, soalnya dia udah ada yang punya. Aku Cuma pengen cerita aja”
“Emang tentang apa sih, dan tentang siapa sih Ki”
“Adalah Ta, kamu nih kepo banget ya, dengerin aja napa”
“Yaudah, buruan cerita ga pake bersambung yah, males dengerinnya”
“Iya Ki, jadi gini aku lagi kasmaran berat sama cewek , tapi gimana ya Ta, dia udah ada yang punya.”
“Alah cemen kamu Ki, yang namanya cowok itu mesti gentle, selama janur kuning belum melengkung itu milik bersama, siapa aja boleh dapetin dia. Saranku sih, kalo kamu emang niat baik sama itu cewek, kamu tata masa depanmu, sama seperti dia menata dirinya, nanti waktunya kamu siap, katakan. Diterima ga diterima urusan belakangan. Yang penting kamu ga mati penasaran”
“Hm, gitu ya Ta.”
“Iyalah Ki, menurutku sih. Soalnya kadang cewek itu terbelenggu sama hubungan, mau mutusin ga enak, ga diputusin cowoknya ga pengertian. Sapa tahu dia justru sreg sama kamu, dan nunggu kamu ungkapin perasaanmu pada waktu yang tepat.”
Deg…
Jantungku serasa berhenti seketika, pecah berkeping-keping tak terhitung
jumlahnya. Kepingannya meluruh mencapai sendi-sendi, membuat badanku lemas
dengan ratusan tulang yang mendadak ingin lepas. Aku hanya bisa diam, menangis pun
aku lupa bagaimana caranya. Aku kembali terdiam, mencoba mencerna makna di setiap
perkataanmu Ki. Menjadi pendengar yang baik atas apa yang kau sampaikan.
Semilir angin berhembus menerpa daun, rantingnya yang lemah terpaksa luruh
bersama luruhnya seluruh sendi-sendiku terkena pecahan jantungku. Ternyata perasaan ini hanya aku yang merasakan.
Hanya euforia sesaat yang kemudian hancur ketika kau mengatakan jika kau telah mencintai
seseorang.
Sialnya
aku telah berjanji pada diriku untuk menjadi teman yang baik untukmu,
penghiburmu, penyemangatmu, hingga aku pun tak dapat lari dari kenyataan ini.
Aku harus tetap terlihat santai dan seakan mendukungmu dengan seseorang itu,
meskipun rasanya sangat sesak disini. Aku tetap ingin yang terbaik untukmu,
meskipun kau tak tahu, tapi aku yakin suatu saat nanti kau akan tahu. Perlahan
tapi pasti aku harus melepaskan perasaan ini, sudahlah, aku sudah cukup dewasa
melakukannya.
***
“Gimana Ki, tesnya? Lancar?”
“Yah begitulah Ta, aku pasrah aja, doakan ya Ta. Aku mau yang terbaik buat dia nanti.”
“Emang kalo dia besok lagi kosong kamu yakin bakal diterima Ki?”
“Yakin aja deh, optimis Ta”
“Dengan badan telur rebus kek gitu? Becanda kali Ki?”
“Lha emang kenapa?”
“Em, mungkin perlu perbaikan sedikit, kamu kalo kurusan dikit ganteng banget lho Ki, dan yang jelas lebih sehat, emang kamu mau nanti waktunya kamu menghabiskan hidup sama dia kamu justru ga bisa menikmati kebersamaan kalian karena sakit?”
“Ya ga mau sih Ta, aku juga udah berusaha tapi gagal mulu nih”
“Sini Ibu dokter ajarin, sapa tau tips yang dari aku yang tokcer”
“Yah begitulah Ta, aku pasrah aja, doakan ya Ta. Aku mau yang terbaik buat dia nanti.”
“Emang kalo dia besok lagi kosong kamu yakin bakal diterima Ki?”
“Yakin aja deh, optimis Ta”
“Dengan badan telur rebus kek gitu? Becanda kali Ki?”
“Lha emang kenapa?”
“Em, mungkin perlu perbaikan sedikit, kamu kalo kurusan dikit ganteng banget lho Ki, dan yang jelas lebih sehat, emang kamu mau nanti waktunya kamu menghabiskan hidup sama dia kamu justru ga bisa menikmati kebersamaan kalian karena sakit?”
“Ya ga mau sih Ta, aku juga udah berusaha tapi gagal mulu nih”
“Sini Ibu dokter ajarin, sapa tau tips yang dari aku yang tokcer”
Duh,
beruntungnya wanita itu Ki, andai dia tahu seberapa keras kamu berjuang
untuknya. Dan tetiba aku pun ingat, aku ingin memastikan Kiki berhasil
mendapatkan wanita pujaannya, maka sedikit saran kuberikan untuknya, minimal
untuk menambah daya tariknya. Bukankah bukti rasa sayang yang paling konkret
adalah melihat orang yang kita sayangi dan kemudian berhasil. Begitu pun aku,
aku akan kecewa ketika kamu kecewa Ki, aku akan menjadi orang pertama yang
sedih jika kamu terpuruk.
Aku
memang munafik Ki, tapi tolong jangan sebut aku munafik. Karena perasaan ini
sungguh bukan aku yang meminta, tapi Tuhan beri. Aku bukan seseorang yang
berani menyatakan perasaanku, aku selalu takut mengakui. Aku menyukaimu, namun
waktu tak membiarkan kita untuk bersatu. Mengertilah Ta, mungkin pada kehidupan
selanjutnya atau selanjutnya lagi. Aku tak berjanji namun aku sedikit lega jika
kau mau mengerti.
Dan
masih seperti biasanya, kau membuat kemunafikanku semakin menjadi. Kau
keluarkan semua ocehan gilamu, yang romantisnya mengalahkan pangeran berkuda
putih dalam mimpi. Aku tersengat dahsyat, setiap kali kamu memujiku. Tanpa kau
tahu Ki, aku selalu tersenyum setiap kali kau katakan itu. Berharap lagi dan
terus kau ulangi lagi. Aku yakin ada candu yang mencanduiku ketika kau
mengatakannya.
“Ta, itu beneran kamu”
“Apanya yang beneran aku Ki?”
“Ya itu fotomu, kok tumben cantik
banget”
“Plis deh, emang biasanya?”
“Biasanya juga cantik sih,
cumaaaa…”
“Cuma apa Ki? Wah perasaanku
mendadak ga enak nih, pasti mau ngatain nih hawa-hawanya”
“Eh beneran, emang kamu aslinya
manis kok Ta. Kalau diliat-liat kamu emang manis,sayangnya…”
“Sayangnya apa?”
“Sayangnya ga ada yang ngeliatin,
hahahaha..”
“Ah kampret kamu Ki”
Aku
tahu dan aku sadar, tidak semestinya aku merawat bibit euforia ini. Aku harus
kembali sadar terhadap kenyataan. Tapi ini sudah terlalu jauh, bahkan aku
mungkin telah lupa jalan pulang, aku tersesat Ki. Kembali ku tatap lekat-lekat
diriku dalam cermin, dalam sekejap aku diliputi rasa bersalah sekaligus senang
bukan kepalang. Bertanya pada diri sendiri bagaimana ini bisa terjadi. Huft,
otak ini sepertinya memang sudah tidak berjalan, mungkin lusa harus kubedah
supaya aku bisa mengeluarkanmu dari otakku.
***
Minggu
pagi ini rupanya menjadi momen spesial untukku, seharusnya sih. Hanya saja
mungkin tidak untuk minggu ini. Sebulan sekali atau bahkan terkadang tiga bulan
sekali Firdi mengunjungiku. Kadang aku kesal dengannya, menuntut hak ku untuk
diperlakukan sebagai kekasih secara wajar saja tak bisa. Sinyal selalu menjadi
alasan kenapa dia baru bisa menghubungiku sebulan sekali ketika dia ke kota.
Bayanganku justru lebih mengenaskan, mungkinkah dia disana hidup primitif
dengan suku pedalaman yang hanya pake koteka kemana-mana. Dan hari ini
tiba-tiba Firdi sudah mejeng di teras rumah, tanpa kabar terlebih dulu.
Bener-bener jailangkung, datang tak diundang, ga ngerti juga datangnya kapan,
pulang pun tak diantar.
“Cinta lagi apa?” tanya Firdi.
“lagi ga jelas nih” jawabku singkat
“Ga jelas kenapa?”
“Ya ga jelas nungguin kamu.” Sentakku kesal.
“Cinta kok aneh sih?”
“Yang aneh itu kamu Fir.”
“Aneh kenapa sih” tanya Firdi penuh selidik
“Iya aneh, soalnya udah kaya jailangkung, ga ngerti kabarnya
gimana, tahu-tahu nongol depan pintu, untung receh dirumah abis, kalo ga
mungkin udah tak kasih receh biar cepet-cepet pergi.”
“Hm, kok gitu sih. Aku kan udah bilang kalau disana sinyal
susah, harus ke kota.”
“Kamu yang aneh Fir, emang ga ada pekerjaan lain apa? Sampe
kamu bela-belain disitu, kamu naksir sama cewek primitif? Emang disini udah ga
ada tempat yang mau nampung kamu ya? Aku punya pacar tapi ga ngerasa punya
pacar tahu gak”
“Iyadeh, perakitannya masih beberapa tahun lagi soalnya, aku
harus fokus Ta.”
“Yaudah makan tuh roket jadi-jadianmu, jangan salahin aku
tapi ya kalau nanti aku naksir orang disini.”
“Jangan gitu dong Ta, kamu kan tahu aku ngidam ini sejak
dulu. Kenapa aku pilih tempat terpencil karena biar ga banyak orang yang tahu,
nanti waktunya ku tunjukkin ke dunia kan bisa heboh, kamu juga ikut tenar Ta”
“Aku ga ngerti deh sama jalan fikirmu Fir, kamu terlalu
larut dalam duniamu sendiri, bahkan mungkin sudah ga ada tempat di hatimu buat
namaku. Apa iya besok kalau kita nikah bakal kaya gini terus?”
“Kamu ini kenapa sih Ta, ga biasanya kaya gini, biasanya
kamu ga pernah komplain sama proyekku.”
“Iyadeh Ta. Aku benar-benar minta maaf, kita baikan yuk. “
Perasaan
bersalah mulai merayapi tubuhku, beranjak dari ujung kaki berakhir tepat di
ujung kepalaku. Memaksaku berpikir kembali, apakah aku terlalu keras bicara
dengan Firdi? Dia memang selama ini selalu sibuk dengan dunianya, tapi toh dia
tak pernah komplain dengan duniaku juga. Tapi bukankah cinta itu menuntut? Aku
semakin sangsi dengan hubunganku, ini cinta atau hanya sekedar hubungan
kebiasaan? Hubungan kami hambar, tak ada naik tak ada turun, tapi datar setiap
waktu. Namun begitu, tak sepantasnya aku membiarkan hatiku terisi nama lain
bukan?
Semakin
hari semakin bertambah rasa bersalahku ketika aku merasakan kenikmatan dan
kenyamanan yang tak seharusnya dari Kiki. Meskipun aku tahu itu hanya
perasaanku saja, aku yakin Kiki tak bermaksud melakukannya. Itu hanya karena
dia tidak tahu tentang perasaanku. Andai saja dia mengetahui bibit-bibit cinta
ini, pastilah dia akan mundur teratur. Aku? Jelas tak ingin itu terjadi, tapi
sampai kapan ini akan terjadi?
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar