Senin, 24 Februari 2014

Menelanjangi Mereka Yang Teriak Jihad !






Sejauh kakiku melangkah, telah berjuta mulut penuh suara lantang, kencang meneriakkan Islam. Mereka berkoar-koar seakan mereka yang paling benar. Dan aku, seorang anak yang mulai melangkahkan kakiku ke dunia yang sebenarnya, dunia penuh topeng yang sudah basi. Teronggok di pinggiran perjuangan yang katanya membela Islam. Karena aku tak mampu seperti mereka, pengetahuanku ciut, nyaliku apalagi. Aku hanya penikmat setia khotbah mereka, pengikut yang paling percaya bahwa dien Islam adalah seperti kata mereka.

Ah persetan, semuanya berbalik kedalam dasar nuraniku. Aku seperti merasakan apa yang mereka bilang perang batin. Aku memang tak tahu betul seluk beluk Islam, tapi ketika mereka yang mengatasnamakan Islam itu berkoar dan bertindak berkebalikan, nuraniku memberontak. Hanya saja aku diam, diamku bukan tidak tahu, tapi diamku mencerna makna. Aku mencerna setiap yang mereka katakan dengan yang mereka lakukan, bullshit.

Kini aku puas menelanjangi para mulut lantang itu, aku puas menelanjangi mereka tanpa mereka ketahui. Aku buktikan pada diriku, bahwa inilah yang sebenarnya. Ini adalah dunia, dimana orang sombong menjadi kalah dengan orang licik. Aku licik bukan karena aku mau, tapi aku licik karena mereka yang membuatku. Aku belajar, dalam fase-fase kehidupan terkadang banyak orang licik berkeliaran, dan hanya dengan kelicikan pula mereka bisa dikalahkan. Dan kini sudah kubuktikan kan?

Setelah sekian lama terseok-seok berjalan, mencari kebenaran islam, akhirnya telah kutemukan. Islam ialah milik mereka yang percaya bahwa islam adalah rahmat semesta alam. Islam adalah milik alam semesta, tak peduli apapun alirannya, tak peduli siapa pun pemimpinnya. Dan umat muslim yang baik bukanlah mereka yang berkoar-koar mengatakan bahwa islammu salah, bukan mereka yang mendoktrin cara hidupmu salah, gaya berpakaianmu salah, inimu salah itumu salah. Tapi mereka yang menerapkannya terlebih dahulu dalam diri mereka seperti apa islam itu, barulah dengan lembut disampaikannya perihal perbaikan kearah yang benar kepada mereka yang masih belajar. Itulah islam, penuh kelembutan dan cinta kasih.

Aku menolak, menolak keras mereka yang memaksakan islam itu seperti ini dan seperti itu, halah omong kosong. Buntuti saja kehidupannya, apakah solatnya tepat waktu atau malas-malasan? Kalau sholatnya saja malas-malasan gimana yang lainnya? Katanya paling tahu soal jihad kok sholatnya saja seperti itu. Apa iya jihad menurut versimu bisa dipercaya le? 

Coba sodorkan wanita cantik mulus seksi untuk menggodanya, pertama mungkin ditolak mentah-mentah. Kedua ketiga, rayu terus dengan sembunyi-sembunyi, omong kosong kalau mereka tak tertarik. Atau datangkan ujian implicit pada mereka, katanya menolak pacaran tapi coba kalau ada mbak-mbak cantik mulus putih dipakein jilbab gede, omong kosong kalau ditolak. Atau mau yang lebih ekstrim lagi, mereka yang katanya tak suka pemerintahan, yang ingin mendirikan khalifah di muka bumi. Halah apalagi ini, kata-kata awalannya saja, isinya sama saja urusan politik, membaiat pemimpinnya sebagai pemimpin. Lantas kami orang-orang islam yang katanya islam-islam an ini suruh milih pemimpin situ buat jadi presiden kami? Jika tidak sepaham lalu di boikot? Lha kok le kepenak temen le omonganmu?

Katanya islam itu berbasis musyawarah, kok isinya kaya gini? Berarti bukan islamnya yang salah, tapi aliranmu le. Islam itu bukan cuma milikmu, bukan cuma milik bapakmu, mbahmu, tapi juga miliku, milik bapakku dan milik simbahku, dadi ojo sok ngaku-ngaku. Dari pengalamanku, dari pengalaman teman-temanku maupun dari pengalaman mereka-mereka yang sudi bercerita. Telah kudapatkan kesimpulan, kulit tidak menjamin isinya. Kulitnya pakai gamis jubah kaya pangeran arab pun kan kita belum tahu isi kepalanya. Anak petinggi agama, anak kiai anak ustadz pun kan cuma anaknya, numpang nama sama bapaknya. Yang garang yang lantang berkoar soal jihad, sok ngajak debat untuk membuktikan islamnya paling benar atau apalah, belum tentu mereka tahu betul yang diomongkan. Logikanya, islam itu lembut dan penuh kasih. Kalau ada yang kasar dan omongannya sensitive menyakiti orang? Silahkan simpulkan sendiri.

Jagalah mulutmu, jagalah kata-katamu. Jangan salahkan orang lain merasa sakit atas kata-katamu, sakit tak akan muncul jika kata-katamu tak sensitif. Tak akan ada asap jika tak ada api, meskipun kamu bilang itu masalah penafsiran, jika itu alasanmu, kenapa tidak kata-kata lain yang lebih baik yang kamu keluarkan. Saudaraku di seluruh dunia yang kucintai dan kusayangi, janganlah kalian gampang tertarik pada sebuah kelompok islam yang mengatakan islamnya paling benar, apalagi yang ekstrim bilang islam lain salah, menyalahkan kebiasaan islam lain, dan berniat mendirikan islam sendiri sampai-sampai yang keluar harus diboikot. Jangan sampai ikut-ikutan yang seperti itu. Wis to, rausah melu-melu sik koyo ngono iku. Lakukan islam semampu kalian meraihnya, Allah tidak akan menghisab panjenengan atas apa yang panjenengan tidak tahu. Ndak usah ikut-ikutan yang aneh-aneh. Jadikan Al Quran dan As Sunah sebagai pegangan, tentunya dengan penafsiran yang benar, bukan ditafsirin sak karepe panjenengan atau kelompok panjenengan piyambak. Kalau tidak tahu, silahkan bertanya ke berbagai ustadz, kiai atau guru dimanapun. Semakin banyak belajar akan semakin membuat panejenengan akhirnya tahu seperti apa yang benar dan seharusnya.

Salam.






gambar :waspada.co.id

Kamis, 20 Februari 2014

Ketika Agama dan Moral Raib Entah Kemana




Ayupria S

Ini adalah sebuah kisah, kisah nyata, dimana kita bisa memulai membuka mata untuk melihat realita di sekeliling kita. Realita yang bukan hanya sekedar ada di sinetron. Tapi Sinetron lah yang meniru, yang mengabadikannya kedalam alur sebuah cerita yang dibumbui sejumput kisah pemanis diatasnya.

Ketika kita mulai beranjak dewasa, diantara masa peralihan dari menuntut pendidikan, mencari jati diri dengan kenyataan hidup yang ada. Nyatanya, teori yang kita pelajari di sekolah selama bertahun-tahun, berbeda jauh dengan praktiknya. Apalagi teori kewarganeraan, PPKN, PMP. Halah apa sih itu, ternyata semua Cuma karangan belaka. Padahal dulu kita selalu siang malam sampai mampus menghafal untuk ujian. Nilai delapan sudah lumayan, nilai enam kebangetan. Tapi toh nyatanya yang pernah meraih nilai sepuluh belum tentu lebih baik praktiknya dengan yang nilai enam kan? Padahal dulu kita sibuk dicaci maki sana sini kalau sampai kewarganegaraan dapat enam. Sekarang, rasanya saya pengin sekali ganti mencaci yang mendapat nilai sepuluh tapi perilakunya sama sekali mendapat dua saja masih terlalu bagus.

Nah kembali ke awal cerita. Berhubung saya adalah seorang blogger, maka mulut saya ya Cuma ada disini. Cuat cuit, berkoar-koar ba bi bu, ya Cuma disini, masuk Koran kan ngga mungkin banget. Disini saya ingin bercerita tentang bobroknya birokrasi di sebuah desa. Desa terpencil yang mungkin dip eta saja tidak ada. Sebut saja itu adalah desa “N”.

Desa N merupakan desa dengan lahan pertanian yang sangat luas. Saking luasnya, luas wilayah yang ditempati penduduk dengan luas sawahnya lebih luasan sawahnya. Namun, sayangnya petani disini banyak yang kurang memaksimalkan lahan sehingga hasil yang didapatkan juga pas-pas an. Menjadi buruh di desa ini adalah suatu kehormatan, mungkin. Mereka seringkali jual mahal ketika permintaan terhadap tenaga mereka melonjak. Memasang tarif sangat tinggi, hingga mengerjakan asal-asalan. Pernah suatu ketika ibu saya kekurangan tenaga untuk menggarap sawahnya, dicarilah para tenaga itu, pertama OK, sehari sebelum hari H tiba-tiba membatalkan secara sepihak karena ada tetangga yang berani bayar dua hingga tiga kali lipat, kampret. Akhirnya sejak saat itu, ibu saya lebih suka memakai tenaga buruh tetangga desa untuk  membantu menyelesaikan pekerjaan. Akan tetapi, masih ada juga segelintir buruh yang memang jujur dan dapat dipercaya, serta memasang tariff yang wajar. Buruh seperti ini biasanya sudah di booking jauh-jauh hari oleh para pemilik lahan.

Kedua, keamanan di desa ini mungkin bisa dibilang kacau. Hukum tidak terlalu berpengaruh kuat. Nyatanya tetangga saya banyak yang mencuri tanah, mengganggu ketenangan dengan melempari batu sampai menembak burung sesuka hati diatas rumah orang. Yang paling oke punya adalah perjudiannya. Sudah jangan ditanya lagi, dari mulai adu ayam, adu burung hingga adu apalagi ya? Ah asal jangan adu istri saja. Kepala desa bukannya tidak tahu, tapi justru ikut bergabung dengan perjudian ini, ada polisi tinggal diajak kompromi, selesai. Bukannya masalah pendidikan yang menjadi hambatan si kepala desa, kalau dipikir si kepala desa ini berasal dari keluarga orang cukup terpandang di desa ini, kuliah lagi. Menurut berita yang beredar, kabar burung lah ceritanya, kemenangan si kepala desa ini didapat dari kecurangan. Jadi pada saat pagi hari para pemilih hendak mencoblos calon lurah, para calon ini telah menyiapkan mobil untuk menjemput para pemilih. Dan..saat di dalam mobil itulah mereka diberi uang dengan disumpah untuk memilih si A, B atau C misalnya. Calon lain sudah member uang beberapa hari yang lalu, tapi yang member paling banyak dan paling terakhirlah yang menang bukan? Licik atau pintar? Apalagi dengan latar belakang masyarakat yang mata duitan. Maklum lah, keterbatasan pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang pemilu yang adil hingga latar belakang ekonomi menjadi penyebabnya, plus miskin pengetahuan agama.

Persoalan ketiga yang ingin saya soroti adalah agama. Agama di desa ini sudah mulai berangsur membaik setelah sekian lama “nyenyet”. Masjid sudah mulai ramai, meskipun adzan kadang terdengar kadang tidak. Majelis taklim yang diadakan atas inisiatif ulama setempat juga paling banter didatangi sepuluh orang, selebihnya paling cuma beberapa. Itu juga paling-paling pengurus masjidnya. Saya acungi jempol empat buat pak ustadz yang rela jauh-jauh datang berdakwah di desa suram ini, meskipun terkadang yang datang Cuma beberapa. Saya tahu beliau pasti kecewa, tapi kegigihannya juga patut diapresiasi kan.

Saya dulu pernah merasa frustasi, selepas pendidikan saya, bukankah seharusnya seperti teori begini begitu. Kok ini justru melenceng jauh? Apakah mereka tidak tahu atau memang aturan dibuat untuk dilanggar. Katanya mencuri itu dosa, tapi kok mangga pisang di sebelah rumah hilang terus. Katanya judi itu dilarang, kok lurahnya saja ikut. Katanya jangan pandang orang dari luarnya, tapi kok tetanggaku yang kumal dan miskin tidak dihormati, kok mereka dianggap sebelah mata. Bahkan jika ada yang jelek sedikit, begitu banyak yang mencaci dan menghujat, seakan itu memang pantas disandang si kumal dan miskin. Sedangkan temanku yang satu lagi, keluarganya cukup berada, sering memfitnah orang, melabrak orang, ganjennya amit-amit justru dipandang baik. Padahal hampir nama orang sekampung pernah diceritakan keburukannya, bahkan yang detail sekalipun. Bigos mungkin lebih cocoknya ya?

Perilaku suami terhadap istri juga bisa dibilang tidak layak, menurut saya. Mayoritas wanita disini bekerja sebagai TKW ke luar negeri. Mengadu nasib dan peruntungan di negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Sayangnya, perjuangan mereka tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Disaat para istri berjuang, sang suami dengan nyamannya malas-malasan, bersantai, merokok, berjudi bahkan sampai main perempuan. Anak-anak terlantar, hanya diasuh sang kakek atau nenek, itupun jika mereka masih ada. Selebihnya mereka hanya diberi uang uang dan uang serta sebuah motor untuk ugal-ugalan. Membolos sekolah sudah biasa, merokok usia dini menjadi hal wajar, kongkow dengan para preman menjadi rutinitas. Tidak ada itu jam belajar, hanya sedikit orang tua yang benar-benar peduli dengan pendidikan maupun gizi sang anak.

Saya sendiri, bukannya saya merasa paling benar. Saya pun banyak kekurangan. Saya merasa tidak baik, dan akan menjadi sangat tidak baik jika tetap berada di tempat itu. Itulah alasannya kenapa saya tidak betah hidup di tempat itu. Saya merasa akan lebih baik meninggalkan desa itu, dan saya tidak akan kembali menetap sebelum saya memiliki kemampuan untuk merubah perilaku mereka semua. Saya bercita-cita menjadi diplomat, supaya dapat membantu saudara-saudara perempuan saya yang berjuang di luar negeri sana. Selain itu, saya pun ingin menjadi seorang ustadzah sehingga dapat memberi pencerahan kepada warga desa N ini. Supaya mereka sadar apa yang telah mereka lakukan sudah jauh melenceng dan berharap mereka semua kembali ke jalan yang benar. Membuat desa N asri kembali dengan lingkungan yang agamis serta penuh toleransi. Amin