Ayupria S
Ini adalah sebuah kisah, kisah
nyata, dimana kita bisa memulai membuka mata untuk melihat realita di
sekeliling kita. Realita yang bukan hanya sekedar ada di sinetron. Tapi
Sinetron lah yang meniru, yang mengabadikannya kedalam alur sebuah cerita yang
dibumbui sejumput kisah pemanis diatasnya.
Ketika kita mulai beranjak dewasa,
diantara masa peralihan dari menuntut pendidikan, mencari jati diri dengan
kenyataan hidup yang ada. Nyatanya, teori yang kita pelajari di sekolah selama
bertahun-tahun, berbeda jauh dengan praktiknya. Apalagi teori kewarganeraan,
PPKN, PMP. Halah apa sih itu, ternyata semua Cuma karangan belaka. Padahal dulu
kita selalu siang malam sampai mampus menghafal untuk ujian. Nilai delapan
sudah lumayan, nilai enam kebangetan. Tapi toh nyatanya yang pernah meraih
nilai sepuluh belum tentu lebih baik praktiknya dengan yang nilai enam kan?
Padahal dulu kita sibuk dicaci maki sana sini kalau sampai kewarganegaraan
dapat enam. Sekarang, rasanya saya pengin sekali ganti mencaci yang mendapat
nilai sepuluh tapi perilakunya sama sekali mendapat dua saja masih terlalu
bagus.
Nah kembali ke awal cerita.
Berhubung saya adalah seorang blogger, maka mulut saya ya Cuma ada disini. Cuat
cuit, berkoar-koar ba bi bu, ya Cuma disini, masuk Koran kan ngga mungkin
banget. Disini saya ingin bercerita tentang bobroknya birokrasi di sebuah desa.
Desa terpencil yang mungkin dip eta saja tidak ada. Sebut saja itu adalah desa “N”.
Desa N merupakan desa dengan lahan
pertanian yang sangat luas. Saking luasnya, luas wilayah yang ditempati
penduduk dengan luas sawahnya lebih luasan sawahnya. Namun, sayangnya petani
disini banyak yang kurang memaksimalkan lahan sehingga hasil yang didapatkan
juga pas-pas an. Menjadi buruh di desa ini adalah suatu kehormatan, mungkin.
Mereka seringkali jual mahal ketika permintaan terhadap tenaga mereka melonjak.
Memasang tarif sangat tinggi, hingga mengerjakan asal-asalan. Pernah suatu
ketika ibu saya kekurangan tenaga untuk menggarap sawahnya, dicarilah para
tenaga itu, pertama OK, sehari sebelum hari H tiba-tiba membatalkan secara
sepihak karena ada tetangga yang berani bayar dua hingga tiga kali lipat,
kampret. Akhirnya sejak saat itu, ibu saya lebih suka memakai tenaga buruh
tetangga desa untuk membantu
menyelesaikan pekerjaan. Akan tetapi, masih ada juga segelintir buruh yang
memang jujur dan dapat dipercaya, serta memasang tariff yang wajar. Buruh
seperti ini biasanya sudah di booking jauh-jauh hari oleh para pemilik lahan.
Kedua, keamanan di desa ini mungkin
bisa dibilang kacau. Hukum tidak terlalu berpengaruh kuat. Nyatanya tetangga
saya banyak yang mencuri tanah, mengganggu ketenangan dengan melempari batu
sampai menembak burung sesuka hati diatas rumah orang. Yang paling oke punya
adalah perjudiannya. Sudah jangan ditanya lagi, dari mulai adu ayam, adu burung
hingga adu apalagi ya? Ah asal jangan adu istri saja. Kepala desa bukannya
tidak tahu, tapi justru ikut bergabung dengan perjudian ini, ada polisi tinggal
diajak kompromi, selesai. Bukannya masalah pendidikan yang menjadi hambatan si
kepala desa, kalau dipikir si kepala desa ini berasal dari keluarga orang cukup
terpandang di desa ini, kuliah lagi. Menurut berita yang beredar, kabar burung
lah ceritanya, kemenangan si kepala desa ini didapat dari kecurangan. Jadi pada
saat pagi hari para pemilih hendak mencoblos calon lurah, para calon ini telah
menyiapkan mobil untuk menjemput para pemilih. Dan..saat di dalam mobil itulah
mereka diberi uang dengan disumpah untuk memilih si A, B atau C misalnya. Calon
lain sudah member uang beberapa hari yang lalu, tapi yang member paling banyak
dan paling terakhirlah yang menang bukan? Licik atau pintar? Apalagi dengan
latar belakang masyarakat yang mata duitan. Maklum lah, keterbatasan
pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang pemilu yang adil hingga latar
belakang ekonomi menjadi penyebabnya, plus miskin pengetahuan agama.
Persoalan ketiga yang ingin saya
soroti adalah agama. Agama di desa ini sudah mulai berangsur membaik setelah
sekian lama “nyenyet”. Masjid sudah mulai ramai, meskipun adzan kadang
terdengar kadang tidak. Majelis taklim yang diadakan atas inisiatif ulama
setempat juga paling banter didatangi sepuluh orang, selebihnya paling cuma
beberapa. Itu juga paling-paling pengurus masjidnya. Saya acungi jempol empat
buat pak ustadz yang rela jauh-jauh datang berdakwah di desa suram ini,
meskipun terkadang yang datang Cuma beberapa. Saya tahu beliau pasti kecewa,
tapi kegigihannya juga patut diapresiasi kan.
Saya dulu pernah merasa frustasi,
selepas pendidikan saya, bukankah seharusnya seperti teori begini begitu. Kok ini
justru melenceng jauh? Apakah mereka tidak tahu atau memang aturan dibuat untuk
dilanggar. Katanya mencuri itu dosa, tapi kok mangga pisang di sebelah rumah
hilang terus. Katanya judi itu dilarang, kok lurahnya saja ikut. Katanya jangan
pandang orang dari luarnya, tapi kok tetanggaku yang kumal dan miskin tidak
dihormati, kok mereka dianggap sebelah mata. Bahkan jika ada yang jelek
sedikit, begitu banyak yang mencaci dan menghujat, seakan itu memang pantas disandang
si kumal dan miskin. Sedangkan temanku yang satu lagi, keluarganya cukup
berada, sering memfitnah orang, melabrak orang, ganjennya amit-amit justru
dipandang baik. Padahal hampir nama orang sekampung pernah diceritakan
keburukannya, bahkan yang detail sekalipun. Bigos mungkin lebih cocoknya ya?
Perilaku suami terhadap istri juga
bisa dibilang tidak layak, menurut saya. Mayoritas wanita disini bekerja
sebagai TKW ke luar negeri. Mengadu nasib dan peruntungan di negeri orang untuk
mencari sesuap nasi. Sayangnya, perjuangan mereka tidak mendapatkan ganjaran
yang setimpal. Disaat para istri berjuang, sang suami dengan nyamannya
malas-malasan, bersantai, merokok, berjudi bahkan sampai main perempuan.
Anak-anak terlantar, hanya diasuh sang kakek atau nenek, itupun jika mereka
masih ada. Selebihnya mereka hanya diberi uang uang dan uang serta sebuah motor
untuk ugal-ugalan. Membolos sekolah sudah biasa, merokok usia dini menjadi hal
wajar, kongkow dengan para preman menjadi rutinitas. Tidak ada itu jam belajar,
hanya sedikit orang tua yang benar-benar peduli dengan pendidikan maupun gizi
sang anak.
Saya sendiri, bukannya saya merasa
paling benar. Saya pun banyak kekurangan. Saya merasa tidak baik, dan akan
menjadi sangat tidak baik jika tetap berada di tempat itu. Itulah alasannya
kenapa saya tidak betah hidup di tempat itu. Saya merasa akan lebih baik
meninggalkan desa itu, dan saya tidak akan kembali menetap sebelum saya
memiliki kemampuan untuk merubah perilaku mereka semua. Saya bercita-cita
menjadi diplomat, supaya dapat membantu saudara-saudara perempuan saya yang
berjuang di luar negeri sana. Selain itu, saya pun ingin menjadi seorang
ustadzah sehingga dapat memberi pencerahan kepada warga desa N ini. Supaya
mereka sadar apa yang telah mereka lakukan sudah jauh melenceng dan berharap
mereka semua kembali ke jalan yang benar. Membuat desa N asri kembali dengan
lingkungan yang agamis serta penuh toleransi. Amin
Seminole Hard Rock Hotel & Casino
BalasHapusFind out where to stay 경상북도 출장마사지 near Seminole 울산광역 출장샵 Hard Rock 수원 출장마사지 Hotel & Casino in Hollywood, FL. Make 계룡 출장샵 sure to visit The Guitar Hotel's 부산광역 출장안마 Casino, one of only five
joya shoes 261l6fbftz154 joya sko danmark,joya sko norge,joya skor stockholm,joya cipő,joya zapatos,joya schoenen,joya scarpe,joya chaussures,joya schuhe,joya schuhe deutschland joya shoes 191d2squsk440
BalasHapus