Minggu, 26 April 2015

Senja . . .


Namanya Senja. Penampilannya senantiasa hangat, ceria, dan memikat. Meski dia sedikit rapuh dan juga perasa. Membalut setiap kesedihan dengan senyuman hangat adalah keahlian terbaiknya. Setiap orang akan merasa nyaman bersamanya; entah ketika hujan sedang turun, ataupun ketika mentari terik yang menyengat perlahan minggat bersama kehadirannya yang singkat. Senja tahu, bagi sebagian mereka kehadirannya adalah helaan napas panjang setelah kelelahan yang mendera. Kehadirannya adalah sebuah kata pulang bagi setiap perjalanan. Sayangnya, Senja tidak bisa mencintai dirinya sendiri dengan baik seperti halnya mereka yang memujanya. Senja selalu saja merasa ketakutan pada matahari yang pergi di ujung hari, pada suasana gelap yang menjelang, dan pada kesunyian yang menemani rehatnya waktu. 

Hingga suatu ketika Senja mengenal Awan. Awan begitu mengagumi keindahan rembulan, dan tentu saja dia mencintai Senja yang menjelang, dan malam gelap yang datang. Awan tahu cara mencintai dirinya sendiri dengan baik. Dia bahkan tidak pernah lupa menggenggam Senja ketika ujung hari benar-benar tiba dan ketakutan pada diri Senja kembali mendera. Awan juga mengajarkan Senja cara untuk mencintai hujan. Awan kerap kali membuat Senja tersenyum bahagia dengan menurunkan ribuan kubik hujan sepanjang hari. Senja mulai belajar mencintai dirinya sendiri, dan tentu saja; Awan.

Senja & Awan. Sebuah episode panjang yang penuh dengan impian. Ada cinta Senja di sana. Ada kesejukan Awan di dalamnya. Malam, rembulan, bintang, hujan, bahkan mentari pun terpaut di dalam kisah perjalanan syahdu Senja dan Awan. Meski terkadang angin menerpa terlampau kencang untuk melukai Senja dan Awan, mereka tetap bertahan.

Lalu sebuah hari yang kelam datang. Senja jatuh dan terluka. Seperti itulah Senja; dia bisa saja nampak hangat dan kuat, meski sebenarnya dia begitu rapuh dan perasa. Hari itu entah mengapa Awan tidak ada di sekitarnya. Senja merasa begitu takut dan payah. Dia tertatih mencoba bertahan. Ketakutannya pada ujung hari tiba-tiba saja kembali dan merasuki ruas-ruas perasaannya. Dia hanya bisa merasakan kebekuan, perih, dan keletihan yang sangat. Senja tahu Awan selalu melihatnya, meski tidak menopangnya.

Senja penuh dengan luka. Namun ia masih mencoba berjalan, bahkan berlari. Ia tahu Awan selalu melihatnya, meski tidak menopangnya. Itu cukup buat Senja. Sungguh, itu cukup buat Senja. Sampai suatu ketika, Senja tak lagi sanggup berjalan terlalu cepat dan Awan menghilang ditelan gelap. Di tengah keputusasaan dan perih di setiapnya; tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Mengguyur Senja dengan begitu keras. Senja suka hujan. Tapi kali ini hujannya terlampau deras. Senja tertatih payah karena luka yang kian menganga dan terasa begitu perih. Di sudut ketakutannya, Senja hanya bisa bertanya dalam hati; mengapa Awan justru menurunkan hujan untuk melukainya? Bukankah selama ini Awan yang mengajarkannya cara untuk bahagia?


Senja hanya diam. Dan untuk pertama kalinya Senja begitu ketakutan pada hujan. Senja ingin sekali menangis. Sayangnya, Senja hanya diciptakan untuk menghadirkan kehangatan dan bukan melampiaskan kesedihan. Maka semenjak hari itu, Senja selalu menangkupkan kedua lengannya dan tertidur di sebuah sudut gelap ketika bumi telah terlelap; untuk kemudian menangis sesenggukan di dalam tidurnya yang resah. nik salsabila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar