Sejarah Pemikiran HI
Menurut
ilmu sejarah, tulisan mengenai HI dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu
yang ditulis sebelum Perang Dunia I dan yang ditulis setelahnya. Golongan
pertama disebut warisan klasik dalam HI dan mencakup berbagai studi tentang
teori politik, hukum, sejarah, dan diplomasi. Golongan yang kedua adalah
karya-karya yang dihasilkan melalui pengajaran dan penelitian setelah HI
menjadi kajian di universitas setelah tahun 1918. Perkembangan HI sebagai studi akademis
melewati tiga tahapan, yaitu tahap tradisional, behavioural, dan
post-behavioural. Pada setiap tingkatan tersebut, terjadi perdebatan mengenai
teori general HI, dan perdebatan antarparadigma menempati urutan ketiga.
Perdebatan yang pertama adalah perdebatan antara idealisme dan realisme
(1918-1950) dan yang kedua adalah perdebatan antara behavioural dan tradisional
(1950). Sejak tahun 1970, tahap post-behavioural berkembang menjadi perdebatan
segitiga atau perdebatan antarparadigma yang terfokus pada asumsi mengenai
dunia yang state-centric. Pada tahun 1980, realisme dihadapkan pada tantangan
dari pluralisme dan strukturalisme.
Perbandingan
Antarparadigma
Realisme
|
Pluralisme
|
Strukturalisme
|
|
Model masyarakat
dunia
|
Billiard ball
|
Cob web
|
Octopus
|
Aktor
|
Negara (aktor
utama dan yang terpenting)
|
Banyak aktor,
termasuk aktor nonnegara
|
Kelas
|
Dinamika
|
Force sebagai
alat utama
|
Gerakan sosial
yang kompleks
|
Ekonomi
|
Variabel
dependen
|
Tujuan HI
hanyalah menjelaskan tindakan negara-negara
|
Menjelaskan
peristiwa-peristiwa besar dunia
|
Menjelaskan
perbedaan yang kontras antara negara kaya dan miskin.
|
Sebelum
Perang Dunia I atau sebelum tahun 1919, tidak ada sistematika mengenai hubungan
internasional, meskipun sebagai fenomena, hubungan internasional telah ada
selama beribu-ribu tahun yang lalu. Baru setelah berakhirnya Perang Dunia I
(1919), HI muncul sebagai sebuah kajian
yang terpisah dari ilmu politik. Jadi, perdebatan dalam HI sebagai sebuah
disiplin ilmu dimulai pada interwar
period (masa di antara dua perang besar, yaitu Perang Dunia I dan II).
Martin
Wight (1982) mengatakan bahwa Ilmu Politik ada untuk digunakan sebagai alat
peramalan/perkiraan mengenai negara, sedangkan ilmu HI untuk memprediksika
masyarakat suatu negara. Kata yang diberi tekanan di sini adalah peramalan,
yang berarti tidak pasti. Wight membagi perkembangan studi HI menjadi tiga
fase, yaitu:
Hedley Bull membagi perkembangan HI secara lebih
spesifik, yaitu sebagai berikut:
Idealisme dan realisme merupakan perspektif, sedangkan
behaviouralisme merupakan pendekatan metodologis. Perspektif idealisme dan
realisme sering disebut juga dengan
conservative theory.
Perdebatan Besar I :Idealisme vs. Realisme
Realisme
memandang manusia sebagai makhluk yang terikat oleh pemikiran mereka masing-masing,
tidak ingin dimanfaatkan, serta selalu berusaha untuk menjadi pengendali
hubungan yang mereka jalin dengan sesamanya. Dari beberapa pernyataan mengenai
manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa realisme menganggap manusia
selalu ingin mengatur kahidupannya sendiri tanpa ada campur tangan atau
dominasi pihak-pihak luar terhadap dirinya, serta selalu ingin mendapat keuntungan yang berasal
dari pihak-pihak lain atau secara eksplisit dapat dikatakan bahwa manusia
cenderung untuk mendominasi tetapi tidak ingin didominasi.
Menurut
para tokoh realisme klasik, kegiatan politik hanya terfokus pada power, dalam
hal ini, power berperan sebagai alat pencapaian tujuan, power sebagai tujuan,
serta penggunaan power. Tokoh-tokoh realis klasik yang mengemukakan hal ini
antara lain adalah Thucydides, Machiavelli, dan Thomas Hobbes.
Thomas Hobbes
Hobbes
memfokuskan perhatiannya pada politik domestik dan bertujuan untuk mendapatkan
otoritas yang kuat secara politik serta terpusat, hal ini disebabkan oleh latar
belakang yang dimiliki Hobbes sebagai politikus. Menurut pandangan Hobbes,
setiap negara harus sekuat monster laut (leviathan) karena disitulah tempat
orang-orang melimpahkan kekuasaan mereka, sehingga negara dan pemerintahan
dibentuk untuk mengatur orang-orang dalam dari sifat alami manusia yang
cenderung untuk melindungi diri mereka sendiri.
Machiavelli
Machiavelli
mengemukakan pendapatnya mengenai kriteria yang harus dimiliki oleh para
pemimpin negara dalam menentukan kebijakan luar negeri. Seorang pemimpin negara
harus memiliki power seperti singa serta kelicikan seekor rubah, dengan
kekuatan yang dimiliki oleh seekor singa, seorang pemimpin negara dapat
mempertahankan atau menyerang negara yang lemah untuk memperluas kekuasaan, hal
tersebut ditunjang dengan kelicikan seekor rubah yang biasanya diaplikasikan
dalam kegiatan mata-mata serta konspirasi. Yang membedakan Machiavelli dari
tokoh-tokoh realis lainnya adalah penekanannya pada kemerdekaan sebagai sesuatu
hal yang penting dalam politik. Meskipun demikian, pada dasarnya para tokoh
realis memiliki pandangan yang sama, yaitu power, national security, serta
state survival. Machiavelli memandang power sebagai faktor yang penting untuk
dikembangkan demi tercapainya keamanan. Selain itu, para pemimpin harus
memiliki kemampuan untuk mengumpulkan kekuasaan yang bertujuan untuk memenuhi
kepentingan pribadi serta kelangsungan hidup negara dan rakyatnya. Machiavelli
menekankan pemikirannya pada national security. Dalam beberapa karya yang telah
ditulisnya, Machiavelli mengemukakan konsep-konsep seperti balance of power,
persekutuan, dan center alliance, Machiavelli juga menyatakan pandangannya
mengenai penyebab terjadinya konflik yang terjadi di antara bangsa-bangsa.
Thucydides
Dalam
karyanya’ The Peloponnesian War’, dalam buku ini dibahas mengenai perang Athena
dan Sparta yang didalamnya terdapat kisah-kisah kepahlawanan, kekejaman,
kekalahan dan kemenangan, serta hal-hal lainnya yang umumnya terjadi di setiap
peperangan. Tujuan ditulisnya buku ini adalah untuk menggambarkan sifat alami
dari peperangan (the nature of war) serta faktor-faktor yang menyebabkan hal
itu terus-menerus terjadi, dia berpendapat bahwa perang terjadi karena adanya
ketakutan dalam perubahan balance of power. Selain itu, dalam situasi politik
dunia yang anarki, peperangan menjadi sesuatu hal yang tidak dapat
terhindarkan. Thucydides mengemukakan pandangannya yang berkaitan dengan power
politcs dimana negara yang lemah akan lebih mudah untuk diserang dan
dipengaruhi. Sehingga, setiap negara diharuskan untuk memperkuat pertahanannya
dan untuk membuat perdamaian itu sendiri tetap berjalan, setiap negara harus
mempunyai kekuatan yang seimbang. Thucydides menyumbangkan beberapa konsep
seperti persaingan senjata, balance of power, detterence, alliance, diplomasi
strategi, serta beberapa persepsi mengenai kekuatan dan kelemahan, pada
akhirnya, konsep-konsep tersebut diadaptasi oleh realisme.
Idealisme
Idealisme
percaya bahwa ketertiban internasional tidak dapat terjadi dengan sendirinya,
melainkan harus dikonstruksi. Salah satu tokoh idealisme adalah J. A. Hobson.
Ia berargumen bahwa sumber dari konflik internasional adalah imperialisme.
Woodrow Wilson adalah tokoh paling terkenal yang menyarankan kewenangan
internasional untuk mengelola hubungan internasional. Menurutnya, perdamaian hanya dapat diwujudkan
dan dipertahankan melalui pembentukan institusi internasional untuk mengatur
anarki internasional.
Perwujudan
dari kewenangan internasional yang disarankan oleh Woodrow Wilson dalam
pidatonya, fourteen points speech,
adalah pembentukan Liga Bangsa-Bangsa. Hal pokok dari sistem Liga Bangsa-Bangsa
adalah collective security,
yaitu suatu pengaturan di mana setiap negara dalam sistem menganggap isu
keamanan sebagai permasalahan bersama dan setuju untuk melakukan tanggapan
kolektif terhadap agresi (Roberts and Kingsburry, 1993:30). Hal ini dapat
dibandingkan dengan sistem aliansi di mana sejumlah negara bergabung, biasanya
sebagai tanggapan terhadap ancaman eksternal yang bersifat spesifik (dikenal juga
dengan sebutan pertahanan kolektif). Fokus lain dari idealisme adalah
pendidikan. Studi Hubungan Internasional didirikan pada tahin 1919 untuk
pertama kali di Aberystwyth dengan tujuan utama untuk mencegah terjadinya
perang.
Idealisme
merupakan pendekatan normatif terhadap hubungan internasional, yaitu,
kepercayaan bahwa studi Hubungan Internasional haruslah berdasarkan apa yang
seharusnya, bukan apa yang sesungguhnya terjadi. Hal ini merupakan pembeda
antara idealisme dan liberal institusionalisme.
Perdebatan Besar
Perdebatan
besar pertama dalam ilmu Hubungan Internasional muncul diantara perbedaan
pemikiran kaum realis dan idealis mengenai subtansi dari Hubungan
Internasional. Setelah LBB dianggap gagal dalam mewujudkan perdamaiaan,
kegagalan, setelah lembaga itu gagal mencegah Jepang untuk menyerang Manchuria,
Italia dalam menguasai Etiopia, dan Rusia ketika mencoba untuk mendominasi
Finlandia. Puncak dari kegagalan itu adalah ketika Jerman menyerang Polandia
pada tahun 1939, yang kemudian mengawali Perang Dunia II maka muncul satu buku
yang controversial dan merupakan satu pemikiran yang menentang pemikiran
idealisme yaitu buku yang berjudul The
Twenty Years’Crisis oleh E. H. Carr. Setelah itu muncul pemikir
lainnyayang mengemukakan ide-ide yang bertentangan dengan idealisme yaitu Hans
J.Morgenthau dengan bukunya yang berjudul Politics among Nations: A Struggle for Power and Peace.
Perang
Dunia II yang tidak bisa dicegah telah mematahkan asumsi pertama kaum idealis,
yaitu prinsip self-determination
yang berarti setiap negara berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan dengan demikian berhak atas kemerdekaan. Kaum
idealis menganggap terjadinya perang dikarenakan negara melaksanakan secret agreement atau secret diplomacy tanpa sepengetahuan
rakyatnya. Oleh karena itu, kaum idealis mendorong terciptanya public participation (partisipasi
pubik) dalam kebijakan luar negeri atau foreign
policy.
Ide-ide
realis lebih sederhana dan mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia, dan oleh
karenanya lebih populer. Machiavelli menganalogikan sifat manusia dan negara
(yang terdiri dari manusia) dengan binatang, yaitu fox (kelicikan) dan lion
(power). Tokoh-tokoh realis antara lain E.H. Carr, Niehbur, dan G. F. Kennan.
Kennan adalah seorang diplomat yang mengemukakan kebijakan pembendungan atau containment policy, terkenal dengan
kalimat, ‘Siapakah Mr. X?’.
Menurut
realisme aktor tunggal yang sangat penting berperan adalah semua negara, selalu
dan selamanya, mengejar power atau bersifat power seeking dan hubungan internasional adalah ajang dari struggle of power. Negara yang
bersifat power seeking
diwujudkan dalam upaya peningkatan kapabilitas (memperkuat kekuatan
bersenjata/militer), dan jika suatu negara tidak cukup mampu untuk melakukan
hal ini, maka negara tersebut akan membentuk aliansi. Hal ini kemudian
memunculkan konsep atau teori balance
of power. Menurut kaum realis, negara yang tidak memiliki kekuatan
bersenjata justru akan mengundang perang karena negara yang memiliki kekuatan
akan mencoba untuk menguasainya. Hal ini tercermin di dalam Melian Dialogue
antara negara kota Melos, yang kekuatan bersenjatanya sangat lemah, dan Athena
yang memiliki power yang jauh lebih besar, di mana Athena memberikan dua opsi,
yaitu tunduk secara suka rela atau dimusnahkan.
Organisasi
internasional menurut para idealis adalah satu actor yang sangat penting dan
bisa menjembatani negara-negara untuk melakukan dan menciptakan perdamaiaan
atau menurut Wilson, organisasi politik internasional, yang akan berfungsi
sebagai wadah untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara
dan menyelesaikannya (dispute
settlement). Negara akan menyerahkan sebagian kedaulatannya pada
organisasi internasional dan organisasi internasional akan menjadi wadah bagi collective security. Asumsi lain dari
kaum idealis adalah perlu dibentuknya sebuah pemerintahan dunia atau world government yang mengatur
negara-negara di dunia dan menyelesaikan perselisihan-perselisihannya.
Hakikat
perdebatan besar pertama yaitu antara idealisme dan realisme berkisar pada cara
untuk menyelesaikan peperangan atau untuk menciptakan perdamaian. Kaum idealis
berpendapat bahwa perdamaian dapat diciptakan melalui prinsip collective security di mana
organisasi internasional menjadi representative
of security. Kaum idealis menyarankan agar negara mengurangi tingkat
persenjataannya hingga level yang paling rendah dan menyandarkan keamanannya
pada collective security. Collective security adalah prinsip di
mana ketika suatu negara diserang oleh negara lain, negara-negara lain yang
tergabung dalam organisasi internasional akan membantu negara yang diserang
tersebut.
Manusia
(dan negara) menurut kaum realis adalah satu mahluk yang selalu rakus adalah
selalu ingin menguasai dan selalu berusaha meningkatkan kekuasaannya. Hal ini
berlaku untuk semua negara.
Asumsi
lainnya adalah negara bersifat rasional atau bertindak berdasarkan cost-benefit. Tidak akan ada negara
yang bersedia berkorban demi negara lain. Oleh karena itu, untuk mencegah perang,
perlu diciptakan balance of power yang
prinsipnya adalah menakut-nakuti negara agar tidak menyerang negara lain karena
kekuatannya seimbang. Perdebatan lain antara kaum realis dan idealis berkisar
pada motivasi negara dalam sistem internasional. Kaum idealis berpendapat bahwa
negara-negara cenderung mengadakan kerja sama (cooperation) sedangkan kaum realis berpendapat bahwa
negara-negara mengejar power demi keuntungan mereka.
Asumsi
kaum realis dapat dirangkum dalam tiga S, yaitu statism, di mana negara menjadi hal sentral dalam hubungan
internasional, self-help, yang
berarti negara harus dapat mempertahankan dan mengurusi dirinya sendiri di
dalam sistem internasional yang anarkis, dan survival, yaitu negara selalu berjuan untuk mempertahankan
keutuhan dan kebulatan negaranya, terutama dalam hal wilayah. Yang perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah eksistensi idealisme sebagai school of thought. Menurut Peter
Wilson, idealisme sebagai sebuah paradigma adalah sebuah mitos, dan oleh
karenanya perdebatan besar pertama ini merupakan sebuah mitos. Menurutnya,
idealisme adalah sekumpulan pemikiran dan prinsip yang berkembang setelah
Perang Dunia I terutama untuk mencegah terjadinya perang, dan kemudian diberi
label ‘idealisme’ atau ‘utopianisme’ karena dianggap tidak realistis. Yang
memberi nama kepada sekumpulan gagasan ini adalah kaum realis yang mengklaim
diri mereka realistis dan memandang dunia sebagaimana keadaan yang sebenarnya
(yang memberi nama utopianisme adalah E. H. Carr).
Perdebatan II : Tradisional / Klasik vs. Scientific
(behavioralisme dan Pasca-Behavioralisme)
Perdebatan
besar kedua merupakan perdebatan mengenai metodologi. Perdebatan ini
berlangsung antara kaum tradisional dan kaum behaviouralis. Dan berbeda dengan
perdebatan pertama yang lebih focus kepada events atau fenomena, atau isu-isu substantif,
Tradisionalisme
merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis,
dan hasil penelitiannya bersifat subjektif. Pendekatan Tradisionalisme
berasumsi bahwa fakta dan kebenaran terdapat di dalam diri manusia sendiri, dan
tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis,
legal-formal, filosofis.
Pendekatan
klasik dalam hubungan internasional
tidak memiliki metodologi yang eksplisit, tidak merumuskan hipotesis serta
mengujinya, dan tidak menggunakan`perangkat penelitian formal. Dalam pendekatan
klasik, pandangan mengenai teori dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendekatan klasik
memiliki beberapa asumsi, yaitu: (1) jika kita membatasi diri dengan
standar-standar verifikasi dan kuantifikasi yang ketat, maka hanya sedikit hal
penting yang dapat dikatakan mengenai hubungan internasional, (2) pengetahuan
mengenai hubungan internasional harus berasal dari proses ilmiah yang tidak
sempurna, yang melibatkan persepsi dan intuisi, dan (3) generalisasi mengenai
HI harus selalu bersifat tentatif.Sebaliknya,bagi pemikiran yang cenderung
behaviouralisme bersifat empiris, mengedepankan objektivitas, dan kuantitatif
serta harus melalui serangkaian metode di mana terdapat pengujian atau
verifikasi secara empiris (metode ilmiah).
Bagian-bagian
pokok dari pendekatan behavioural adalah :
- politik dipandang hanya sebagai salah satu aspek dari perilaku manusia
- perilaku politik harus dianalisis dalam berbagai tingkatan termasuk dalam level sosial, budaya, dan personal.
- manusia secara individual adalah unit dasar analisis
Pluralisme vs. Realisme vs. Globalisme / strukturalisme
Inti
dari perdebatan ini adalah mengenai aktor yang paling penting dalam hubungan
internasional, yaitu antara negara dan transnational
actors atau state centric
dan non-state centric.
Perdebatan besar ketiga ini berlangsung di antara realisme, pluralisme, dan
strukturalisme/globalisme
Menurut
kaum realis, aktor-aktor selain negara tidak memainkan peran yang signifikan,
atau setidaknya berada di bawah negara (subordinat), sedangksan kaum pluralis
menekankan pentingnya aktor-aktor transnasional, seperti individu, organisasi
internasional, dan Multinational
Corporations. Pertentangan lain yang terdapat di antara ketiganya yaitu
mengenai dinamika dan variabel-variabel dependen. Pemikiran realisme dapat
dilacak hingga tulisan Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan Clausewitz.
Realisme menekankan keutamaan peran negara di dalam hubungan internasional dan
mensubordinatkan aktor-aktor lainnya. Oleh karena itu, realisme merupakan paradigma
yang bersifat state-centric. Asumsi-asumsi
realisme yang lain adalah negara bersifat manunggal atau unitary dan rasional, serta
menekankan power politics.
Dalam dinamikanya, kaum realis menekankan power sebagai tujuan maupun instrumen
untuk mencapai tujuan. Model hubungan internasional menurut kaum realis adalah
model bola biliard atau billiard ball.
Pluralisme
menyatakan menentang pemusatan perhatian pada negara yang dilakukan oleh kaum
realis. Sebaliknya, kaum pluralis berpendapat bahwa hubungan internasional
bersifat multi-centric, bukan state-centric maupun global centric. Mereka menekankan
pentingnya peran aktor-aktor transnasional, terutama dalam bidang ekonomi yang
ditandai dengan meningkatnya interdependensi atau saling ketergantungan di
antara negara dan aktor-aktor transnasional, termasuk di dalamnya aktor-aktor
di dalam negara (subnational actors).
Pluralisme juga menolak asumsi realis mengenai negara yang manunggal dan
rasional.
Tindakan negara terkadang bukan merupakan
representasi dari kepentingan negara secara keseluruhan, melainkan kepentingan
pihak-pihak di dalam negara yang seringkali bertentangan satu sama lain. Oleh
karenanya kaum pluralis menganggap bahwa kepentingan nasional adalah suatu
konsep yang menyesatkan karena tidak pernah ada kebijakan atau perumusan
mengenai kepentingan negara sebagai suatu keseluruhan. Negara pun terkadang
melakukan tindakan-tindakan yang tidak memperhitungkan untung-rugi karena
dipengaruhi oleh faktor idiosinkretik pemimpinnya.
Dalam dinamika
hubungan internasional, kaum pluralis menekankan gerakan sosial yang kompleks.
Model hubungan internasional menurut kaum pluralis bersifat kompleks, yaitu
model jaring laba-laba (cobweb).
Globalisme atau strukturalisme disebut juga World System Theory menentang asumsi state-centric maupun
multi-centric dari kaum realis dan pluralis, melainkan berpendapat bahwa aktor
utama dalam hubungan internasional adalah kelas. Berdasarkan pandangan ini,
hubungan internasional adalah mengenai eksploitasi kelas kapitalis
(negara-negara kaya yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, Dunia Utara
atau Dunia Pertama) terhadap kelas proletar (negara-negara miskin di Dunia
Selatan).
Pandangan globalisme mereduksi semua
permasalahan menjadi permasalahan ekonomi dan menganggap bahwa isu-isu lain,
seperti keamanan dan politik hanya berada di permukaan saja. Model hubungan
internasional menurut kaum Globalis adalah model gurita berkepala banyak (octopus model) di mana kepala gurita
tersebut mewakili negara-negara kapitalis kaya yang menjulurkan
tentakel-tentakelnya kepada negara-negara miskin dalam proses eksploitasi yang
tiada akhir.
Perbandingan
antara realisme, pluralisme, dan globalisme
Fokus
|
Realisme
|
Pluralisme
|
Globalisme
|
Aktor
|
Aktor utama
adalah negara, aktor-aktor di luar negara tidak penting, negara bersifat
manunggal dan rasional
|
Selain negara,
aktor-aktor transnasional juga memainkan peranan penting dalam hubungan
internasional, negara tidak manunggal, melainkan plural dan tidak selalu
rasional
|
Aktor yang
berperan adalah kelas
|
Isu dan dinamika
|
Isu yang utama
adalah keamanan dan permasalahan militer-strategis (high politics)
|
Menekankan
pentingnya isu-isu lain di luar keamanan, mencakup ekonomi dan sosial (low politics)
|
Semua isu
bermuara pada perekonomian
|
Variabel dan
konsep
|
Power, hubungan
antarnegara
|
Gerakan sosial
yang kompleks, interdependensi
|
Dependensi,
eksploitasi negara kaya terhadap negara miskin dan jurang di antara mereka
|
Model hubungan
antarnegara
|
Bilyar ball
model
|
Cobweb model
|
Octopus model
|
Perdebatan Besar Keempat: Positivisme vs Postpositivisme
Secara
metodologis perdebatan dalam ilmu Hubungan Internasional berlanjut dengan model
pendekatan positivis dan postpositivis, yang sering juga disebut reflektivis.
Positivisme merupakan metodologi yang memainkan peranan penting dalam Hubungan
Internasional dan sebagian besar penelitian dalam disiplin ini dilaksanakan
dengan menggunakan prinsip-prinsip positivis. Metodologi positivistik dalam
Hubungan Internasional merupakan warisan dari pendekatan behavioural dan
menggunakan asumsi-asumsi dari behaviouralisme secara lebih mutakhir.
Positivisme berpendapat bahwa dunia sosial dan politik, termasuk dunia
internasional memiliki pola-pola yang berulang, yang dapat dijelaskan jika kita
menerapkan metodologi yang tepat.
Menurut
positivis penekanan pengamatan dan pengalaman adalah kunci untuk menyusun teori
ilmiah mengenai penilaian-penilaian (judgments). Mereka juga mempercayai bahwa
pengetahuan dapat disusun secara objektif berdasarkan pengujian secara empiris.
Menurut Vasquez, teori empiris yang baik harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
- memiliki kekuatan dalam penjelasan
- akurat dan terbatas
- dapat diverifikasi
- terbuka terhadap perbaikan
- universal dan tidak relatif
- parsimonious (hemat)
- konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
Pendekatan-pendekatan
postpositivis adalah critical theory,
postmodernisme, konstruktivisme, dan teori normatif. Critical theory adalah pengembangan dari pemikiran Marxis yang
bertujuan untuk membuka topeng dominasi global negara-negara kaya yang berasal
dari Dunia Utara terhadap negara-negara miskin. Critical theory memandang kebenaran sebagai sesuatu yang secara
bawaan bersifat politik. Menurut mereka, ilmuwan dan ilmu-ilmu sosial merupakan
instrumen kekuasaan. Kaum positivis percaya bahwa kajian ilmiah harus bersifat
netral atau bebas nilai, namun bukan berarti tidak dapat digunakan untuk
mendukung nilai-nilai tertentu, misalnya teknologi nuklir dapat digunakan untuk
mendukung pertahanan nasional.
Postmodernisme
mempertentangkan persoalan kenyataan, kebenaran, dan gagasan bahwa di dunia ini
terdapat pengetahuan yang meluas mengenai dunia manusia. Menurut para
postmodernis, naratif, termasuk metanaratif, selalu dibentuk oleh para teoris,
dan oleh karenanya selalu dipengaruhi oleh prasangka dan sudut pandang mereka.
Jalan cerita (narrative)
tersebut dapat didekonstruksi, yaitu dengan memisahkan dan membuka
elemen-elemen subjektif dan maksud-maksud yang tersembunyi di
belakangnya.Konstruktivisme bersepakat dengan kaum positivis bahwa kita dapat
mengumpulkan pengetahuan yang sah mengenai dunia ini. Yang membuatnya
bertentangan dengan para positivis adalah bahwa pendekatan ini menekankan
pentingnya peran dari gagasan-gagasan dan pengetahuan bersama mengenai dunia
sosial. Negara-negara saling membentuk satu sama lain dalam hubungan-hubungan
mereka, dan mereka juga membentuk anarki internasional yang mendefinisikan
hubungan-hubungan tersebut: anarki dibuat oleh negara-negara itu sendiri.
Sedangkan
teori normatif adalah teori yang menjelaskan isu-isu moral yang mendasar dari
hubungan internasional. Pandangan-pandangan normatif utama adalah
kosmopolitanisme dan komunitarianisme yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan
kompleks seperti hak-hak apa saja yang dimiliki negara dan yang dimiliki oleh
individu dan mana yang lebih utama di antara hak individu dan negara. Etika internasional
memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan moral yang harus diambil oleh para
negarawan. Dua dimensi metodologis yang mendasar adalah sifat dari dunia sosial
(ontologi) dan hubungan antara pengetahuan kita dan dunia tersebut
(epistemologi). Dimensi ontologis memusatkan perhatian pada sifat dari
kenyataan sosial, apakah bersifat objektif atau subjektif (bentukan manusia).
Dimensi epistemologis memusatkan perhatian pada cara kita mendapatkan
pengetahuan mengenai dunia, apakah kita dapat menjelaskannya secara ilmiah atau
memahaminya secara interpretatif. Terdapat perbedaan antara menjelaskan
Hubungan Internasional dan memahaminya. Menjelaskan Hubungan Internasional
berarti membangun suatu ilmu sosial yang
valid dengan proposisi-proposisi yang teruji secara empiris. Di ujung yang lain
adalah usaha untuk memahami Hubungan Internasional, yaitu untuk mengerti dan
menafsirkan topik-topik substantif yang menjadi kajian di dalamnya. Menurut
pandangan ini, permasalahan-permasalahan historis, legal-formal, dan moral,
mengenai politik dunia tidak dapat diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan tanpa
salah mengartikannya.
Perdebatan
Metodologis
Pada
ketidakjelasan perspektif postmodernisme ditunjukan dengan Tanda tanya di
belakang yang mengacu terhadap epistemologi dan ontologinya karena
posmodernisme menganut paham nihilis.
Terdapat
pemisahan antara pandangan yang bersifat konfrontasionis dan kooperatif dalam
hal metodologi ini. Pandangan pertama melihat jurang yang tak dapat disatukan
antara metodologi positivis dan postpositivis. Meskipun demikian, terdapat juga
pendekatan-pendekatan yang merupakan jalan tengah di antara keduanya.
Referensi : http://bacaanhi.blogspot.com/2011/04/great-debate-fenomena-fenomena-hubungan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar