BAB
I
PENDAHULUAN
A
. LATAR BELAKANG MASALAH
Timur Tengah saat ini
merupakan sebuah wilayah yang sedang mengalami gejolak politik yang luar biasa.
Tak ada yang menyangka bahwa aksi bakar diri seorang tukang sayur Mohamed
Bouazizi menjadi hulu ledak revolusi yang menyulut emosi rakyat hingga
menumbangkan diktator Tunisia, Presiden Zein Abidin Ben Ali. Dan kini,
gelombang revolusi itu telah menginspirasi sebagian besar jazirah. Menjalar
sepanjang sahara menyusuri aliran sungai Nil, menjadi momok bagi diktator-diktator
yang dalam hitungan beberapa dekade, memiskinkan sekaligus mengisolasi
masyarakat jazirah arab dari modernisasi, khususnya kebebasan politik. Hal ini
merupakan efek domino dari demam demokratisasi dan tekad untuk keluar dari
keterpurukan multidimensi baik ekonomi maupun politik yang selama ini
membelenggu sebagian besar rakyat di Timur Tengah.
Suriah merupakan salah
satu negara di Timur Tengah yang sedang mengalami gejolak politik, dimana
rakyatnya menuntut mundur presiden Bashar al-Assad. Tuntutan rakyat Suriah di
latar belakangi oleh keberhasilan perjuangan rakyat Tunisia, Mesir, dan Libya
yang berhasil menuntut mundur rezim otoriter di ketiga negara tersebut. Hal
inilah yang menginspirasi rakyat Suriah untuk melakukan hal yang sama. Tuntutan
ini merupakan akumulasi dari ketidakpuasan rakyat Suriah terhadap pemerintahan
Assad yang dianggap otoriter. Bashar al Assad sendiri telah berkuasa sejak
tahun 2000, mewarisi kekuasaan ayahnya Hafez al-Assad, yang berkuasa selama
tiga dekade di Suriah.
Revolusi di Suriah
sampai saat ini telah memakan banyak korban jiwa. Menurut PBB, lebih dari 2.700
orang telah tewas selama pergolakan di Suriah tersebut. menentang pemerintahan Bashar yang berlangsung sejak Maret
silam. Hal ini kemudian memicu negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Uni Eropa untuk memberikan sanksi kepada Suriah. Sanksi yang
diberikan berupa larangan ekspor minyak dan gas dari Suriah ke Uni Eropa.
Amerika serikat juga memberikan sanksi berupa pembekuan aset dan larangan untuk
melakukan bisnis di negaranya. Hal ini dilakukan dengan tujuan meredam tindakan
represif pemerintahan Assad terhadap rakyat Suriah.
Selain itu pada tanggal
4 Oktober 2011 Dewan Keamanan PBB, berusaha untuk meloloskan sebuah resolusi
yang akan memaksa Suriah menghentikan penindasan terhadap para penentang
Presiden Bashar al-Assad. Resolusi ini hampir serupa dengan resolusi yang
dikeluarkan Dewan Keamanan PBB terhadap pemerintahan Khadafi di Libya beberapa
waktu lalu. Meski resolusi dirancang oleh Prancis bersama Inggris, Jerman dan
Portugal ini mendapat dukungan dari mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB, yaitu
sembilan negara anggota DK PBB. Namun kemudian resolusi ini gagal
diloloskan karena dua negara pemegang hak veto yaitu Rusia dan Cina memberikan
veto mereka terhadap resolusi yang di tawarkan oleh DK PBB tersebut.
B
. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas, rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah :
·
Apa yang menjadi dasar Rusia untuk memveto resolusi yang ditawarkan
DK PBB terhadap Suriah ?
C . KERANGKA TEORITIS
Kebijakan Rusia untuk
memveto resolusi yang ditawarkan DK PBB inilah yang akan penulis coba analisa.
Kebijakan luar negeri suatu negara dapat dianalisis dengan banyak cara. Salah
satunya adalah dengan menggunakan konsep kerangka kerja yang didasarkan pada
tiga level analisis, yaitu : tingkat internasional, nasional dan di tingkat
individu.
Dalam level
internasional, fokus analisisnya adalah negara dan kepentingannya, dan
kebijakan apa yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan
kepentingan negaranya tersebut. Dalam tingkat internasional, perspektif yang
paling berpengaruh fokus pada balance of power, realisme vs idealisme,
geopolitik dan ide-ide mengenai globalisasi. Analisis tingkat kedua (nasional),
mengakui bahwa para pengambil keputusan juga harus berurusan dengan politik
domestik dan konflik kelembagaan di negara mereka sendiri ketika mereka
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri. Perdebatan domestik
mengenai kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak pertimbangan, dimana
setiap negara memiliki masalah dan keadaan sendiri. Analisis tingkat ketiga,
yaitu tingkat individu, bahwa persepsi pribadi, emosi, keanehan dan sifat
psikologi pembuat kebijakan berpengaruh dan berperan dalam membentuk kebijakan
luar negeri suatu negara. Pengaruh pembuatan kebijakan luar negeri yang muncul
dari 3 tingkat analisis di atas, (internasional, nasional, individu),
didefinisikan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara merupakan hasil dari interaksi
yang kompleks antara situasi sejarah, kondisi kelembagaan, orientasi psikologis
serta perilaku individu pembuat kebijakan tersebut.
Tingkat analisis yang
akan digunakan penulis dalam menganalisa kebijakan ini adalah dengan mengunakan
tingkat analisis Internasional. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
dalam tingkat analisis internasional fokus analisisnya adalah negara dan
kepentingannya, dan kebijakan apa yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk
mempromosikan kepentingan negaranya tersebut. Dalam tingkat internasional,
perspektif yang paling berpengaruh fokus pada balance of power, realisme
vs idealisme, geopolitik dan ide-ide mengenai globalisasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A
. Kebijakan Rusia Mem-Veto Resolusi PBB terhadap Suriah
Resolusi terhadap Suriah
merupakan rancangan negara-negara Uni Eropa, yaitu Prancis bersama Inggris,
Jerman dan Portugal. Dari 15 anggota DK PBB, sembilan diantaranya setuju dengan
resolusi tersebut, empat anggota abstain, yaitu Brasil, India, Lebanon
dan Afrika Selatan. Dua negara pemegang hak veto, Rusia dan Cina jelas-jelas
menolak resolusi tersebut dengan menggunakan hak vetonya. Kebijakan Rusia dan
Cina untuk memveto resolusi yang ditawarkan DK PBB terhadap Suriah merupakan
suatu pukulan telak bagi DK PBB dan juga Uni Eropa selaku penggagas resolusi
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi perpecahan di dalam tubuh DK
PBB sendiri.
Penolakan Rusia ini
dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama, Rusia merasa telah membuat
kesalahan saat abstain ketika resolusi terhadap Libya digulirkan oleh DK PBB
pada Maret 2011. Ini terlihat dari sikap Rusia yang mengecam Pakta Pertahanan
Atlantik Utara (NATO) mengenai operasi udara Barat di Libya beberapa waktu
lalu. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menuduh NATO menginterpretasikan
resolusi PBB sesuai dengan keinginannya. Bahkan dalam perundingan dengan Sekjen
NATO Anders Fogh Rasmussen di pertemuan NATO-Rusia yang diselenggarakan di kota
Sochi di Laut Hitam, Rusia, Juli 2011. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov
mengatakan “Sejauh ini, tidak ada pengertian bersama tentang bagaimana resolusi
itu dilaksanakan. Kami ingin resolusi ini dilaksanakan secara benar tanpa
memperluas interpretasi. Sejak NATO menjalankan resolusi PBB, kita telah
membahas sejauh mana hukum internasional telah dihormati.” Rusia beranggapan bahwa
serangan NATO di Libya malah menambah daftar korban jiwa rakyat Libya.
Bahkan sebelum Khadafi
lengser dari jabatannya, Rusia mengecam tindakan Amerika Serikat dan
negara-negara lain yang telah mengakui pemberontak Libya 'Dewan Transisi
Nasional' (NTC) sebagai pemerintah yang sah. Rusia tidak berniat untuk mengakui
pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) sebagai otoritas resmi Libya, tapi
bermaksud untuk memandangnya sebagai mitra negosiasi. Dalam pandangan Rusia,
pengakuan negara-negara Barat dan kekuatan-kekuatan regional menentang
pemerintah Libya dan mengorbankan rezim Muamar Khadafi di Tripoli, itu sama
artinya dengan memilih berpihak dalam satu perang sipil.
Kekhawatiran Rusia ialah
jika resolusi itu disetujui, maka akan disalahgunakan Barat untuk melakukan
serangan militer asing ke Suriah, seperti yang terjadi di Libya. Rusia
menegaskan, negaranya mengeluarkan veto karena resolusi itu tidak jelas dalam
menekan Suriah dan tidak akan membantu meredakan konflik di negara Arab
tersebut. Resolusi yang ditawarkan
Eropa dalam pandangan Rusia lebih berlandaskan filosofi konfrontasi, serta
ancaman aksi yang tidak dapat diterima. Rusia menawarkan resolusi alternatif
yang mengecam kekerasan oposisi serta Pemerintah Suriah, yaitu melalui jalan
dialog untuk mengakhiri krisis.
Selain menolak resolusi
tersebut, Rusia juga mengecam keputusan Uni Eropa yang memutuskan memboikot
impor minyak Suriah untuk menekan Presiden Bashar al-Assad. Minyak menyumbang
25% pendapatan Suriah dan Uni Eropa menyerap 95% minyak produksi negeri yang
tengah bergolak itu. Sehingga pemboikotan ini diharapkan akan memberi tekanan
pada Presiden Bashar al-Assad. Namun bagi Rusia keputusan Uni Eropa yang berupa
sanksi internasional tidak akan membawa hasil apapun dalam meredakan
krisis politik di Suriah.
Faktor kedua yang
mempengaruhi mengapa Rusia menolak resolusi yang ditawarkan DK PBB terhadap
Suriah adalah karena Suriah merupakan salah satu mitra dagang terbesar Rusia.
Yevgeny Satanovsky Presiden Institut Studi Timur Tengah di Moskow mengatakan
bahwa Rusia saat ini menjadi negara yang memiliki orientasi bisnis yang tinggi
dan Pemerintah Rusia ingin melindungi investasinya yang ada di Suriah. Selain
di bidang perdagangan, kerjasama kedua negara juga terjalin erat di bidang
militer dan politik. Dalam satu artikel dari media Rusia, Moskow Times
melaporkan, Investasi Rusia di Suriah pada 2009 lalu mencapai USD19,4 miliar
atau sekira Rp1,7 triliun. Kerja sama yang diselenggarakan oleh Rusia dan
Suriah umumnya merupakan perdagangan senjata, pembangunan infrastruktur, kerja
sama energi, dan pariwisata.
Jauh sebelum revolusi
menggucang Timur Tengah, kerjasama militer antara Rusia dan Suriah sudah
terjalin cukup erat. Sampai saat inipun Rusia terus mengekspor senjata ke
Suriah meski adanya tekanan internasional untuk menghentikan perdagangan
tersebut. Suriah selama ini merupakan importir utama senjata buatan Rusia.
Mereka telah membeli jet tempur MiG-29M, dan sistem pertahanan udara Pantsir
S1E dan Buk-M2E. Suriah juga berharap untuk menerima MiG-29SMT, pesawat latih
tempur Yak-130, sistem rudal taktis Iskander, dan dua kapal selam diesel kelas
Amur-1650. Rusia sebelumnya juga berjanji akan tetap menghormati kontrak 2007
tentang pengiriman beberapa rudal anti-kapal Yakhont Bastion dengan nilai 300
juta dolar AS, meskipun ada upaya oleh Israel dan Amerika Serikat untuk
menghentikan kesepakatan.
Kepala Badan Ekspor
Senjata Rusia atau Rosoboronexport, Anatoly Isaikin, mengatakan tidak ada
sanksi dan larangan dari pemerintah untuk menjual senjata, maka untuk itu
pengusaha wajib bertanggung jawab dalam memenuhi kontraknya. Berbicara pada
pameran senjata internasional di Moskow, yang dihadiri Perdana Menteri Rusia
Vladimir Putin, Kepala Badan Eskspor Senjata Rusia, Anatoly Isaikin mengatakan
Rusia memasok Suriah dengan jet pelatih Yak-130 dan perangkat keras militer. Rusia terus berhubungan
dekat dengan Suriah selama puluhan tahun dan tetap menjadi salah satu pemasok
paling penting senjata bagi negara tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, di dapat kesimpulan sebagai berikut :
Rusia
didukung China memveto resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB terkait
keputusan untuk mengakhiri konflik yang terjadi di Suriah yang digagas oleh
negara-negara Eropa. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, pertama, Rusia
tidak ingin mengulang kesalahan dengan memberikan jawaban abstain seperti
ketika resolusi yang dirancang untuk Libya, sehingga resolusi tersebut akhirnya
disalahgunakan oleh NATO untuk melegalkan serangannya di Libya. Kedua, Suriah merupakan salah satu mitra dagang
terbesar Rusia. Sehingga Rusia berusaha melindungi asset-aset nya. Jauh sebelum
revolusi menggucang Timur Tengah, kerjasama militer antara Rusia dan Suriah
sudah terjalin cukup erat. Sampai saat inipun Rusia terus mengekspor senjata ke
Suriah
Atas dasar itulah
mengapa Rusia begitu bersikeras untuk menolak resolusi DK PBB kepada Suriah.
Serta mengecam segala bentuk sanksi internasional, karena menganggap hal
tidak akan membawa hasil apapun dalam meredakan krisis politik di Suriah. Ini
semua tidak terlepas dari kepentingan nasional Rusia sendiri, seperti yang
telah disebutkan diatas. Karena kebijakan politik luar negeri suatu negara
merupakan representasi dari kebijakan politik dalam negeri negara itu sendiri.
Dikutip dari http://wartatv.com , “Rusia Tetap Menjual Senjata ke Suriah” diakses tanggal 7
Desember 2011.