Rabu, 14 Desember 2011

Rusia Memveto Resolusi PBB terhadap Suriah


BAB I
PENDAHULUAN


A . LATAR BELAKANG MASALAH
Timur Tengah saat ini merupakan sebuah wilayah yang sedang mengalami gejolak politik yang luar biasa. Tak ada yang menyangka bahwa aksi bakar diri seorang tukang sayur Mohamed Bouazizi menjadi hulu ledak revolusi yang menyulut emosi rakyat hingga menumbangkan diktator Tunisia, Presiden Zein Abidin Ben Ali. Dan kini, gelombang revolusi itu telah menginspirasi sebagian besar jazirah. Menjalar sepanjang sahara menyusuri aliran sungai Nil, menjadi momok bagi diktator-diktator yang dalam hitungan beberapa dekade, memiskinkan sekaligus mengisolasi masyarakat jazirah arab dari modernisasi, khususnya kebebasan politik. Hal ini merupakan efek domino dari demam demokratisasi dan tekad untuk keluar dari keterpurukan multidimensi baik ekonomi maupun politik yang selama ini membelenggu sebagian besar rakyat di Timur Tengah.
Suriah merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang sedang mengalami gejolak politik, dimana rakyatnya menuntut mundur presiden Bashar al-Assad. Tuntutan rakyat Suriah di latar belakangi oleh keberhasilan perjuangan rakyat Tunisia, Mesir, dan Libya yang berhasil menuntut mundur rezim otoriter di ketiga negara tersebut. Hal inilah yang menginspirasi rakyat Suriah untuk melakukan hal yang sama. Tuntutan ini merupakan akumulasi dari ketidakpuasan rakyat Suriah terhadap pemerintahan Assad yang dianggap otoriter. Bashar al Assad sendiri telah berkuasa sejak tahun 2000, mewarisi kekuasaan ayahnya Hafez al-Assad, yang berkuasa selama tiga dekade di Suriah.
Revolusi di Suriah sampai saat ini telah memakan banyak korban jiwa. Menurut PBB, lebih dari 2.700 orang telah tewas selama pergolakan di Suriah tersebut.[1] menentang pemerintahan Bashar yang berlangsung sejak Maret silam. Hal ini kemudian memicu negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa untuk memberikan sanksi kepada Suriah. Sanksi yang diberikan berupa larangan ekspor minyak dan gas dari Suriah ke Uni Eropa. Amerika serikat juga memberikan sanksi berupa pembekuan aset dan larangan untuk melakukan bisnis di negaranya. Hal ini dilakukan dengan tujuan meredam tindakan represif pemerintahan Assad terhadap rakyat Suriah.
Selain itu pada tanggal 4 Oktober 2011 Dewan Keamanan PBB, berusaha untuk meloloskan sebuah resolusi yang akan memaksa Suriah menghentikan penindasan terhadap para penentang Presiden Bashar al-Assad. Resolusi ini hampir serupa dengan resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB terhadap pemerintahan Khadafi di Libya beberapa waktu lalu. Meski resolusi dirancang oleh Prancis bersama Inggris, Jerman dan Portugal ini mendapat dukungan dari mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB, yaitu sembilan negara anggota DK PBB.  Namun kemudian resolusi ini gagal diloloskan karena dua negara pemegang hak veto yaitu Rusia dan Cina memberikan veto mereka terhadap resolusi yang di tawarkan oleh DK PBB tersebut.

B . RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah :
·         Apa yang menjadi dasar Rusia untuk memveto resolusi yang ditawarkan DK PBB terhadap Suriah ?

C . KERANGKA TEORITIS
Kebijakan Rusia untuk memveto resolusi yang ditawarkan DK PBB inilah yang akan penulis coba analisa. Kebijakan luar negeri suatu negara dapat dianalisis dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan konsep kerangka kerja yang didasarkan pada tiga level analisis, yaitu : tingkat internasional, nasional dan di tingkat individu. [2]
Dalam level internasional, fokus analisisnya adalah negara dan kepentingannya, dan kebijakan apa yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan kepentingan negaranya tersebut. Dalam tingkat internasional, perspektif yang paling berpengaruh fokus pada balance of power, realisme vs idealisme, geopolitik dan ide-ide mengenai globalisasi. Analisis tingkat kedua (nasional), mengakui bahwa para pengambil keputusan juga harus berurusan dengan politik domestik dan konflik kelembagaan di negara mereka sendiri ketika mereka merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri. Perdebatan domestik mengenai kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak pertimbangan, dimana setiap negara memiliki masalah dan keadaan sendiri. Analisis tingkat ketiga, yaitu tingkat individu, bahwa persepsi pribadi, emosi, keanehan dan sifat psikologi pembuat kebijakan berpengaruh dan berperan dalam membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Pengaruh pembuatan kebijakan luar negeri yang muncul dari 3 tingkat analisis di atas, (internasional, nasional, individu), didefinisikan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara situasi sejarah, kondisi kelembagaan, orientasi psikologis serta perilaku individu pembuat kebijakan tersebut.
Tingkat analisis yang akan digunakan penulis dalam menganalisa kebijakan ini adalah dengan mengunakan tingkat analisis Internasional. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dalam tingkat analisis internasional fokus analisisnya adalah negara dan kepentingannya, dan kebijakan apa yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk mempromosikan kepentingan negaranya tersebut. Dalam tingkat internasional, perspektif yang paling berpengaruh fokus pada balance of power, realisme vs idealisme, geopolitik dan ide-ide mengenai globalisasi.












BAB II
PEMBAHASAN


A . Kebijakan Rusia Mem-Veto Resolusi PBB terhadap Suriah
Resolusi terhadap Suriah merupakan rancangan negara-negara Uni Eropa, yaitu Prancis bersama Inggris, Jerman dan Portugal. Dari 15 anggota DK PBB, sembilan diantaranya setuju dengan resolusi tersebut,  empat anggota abstain, yaitu Brasil, India, Lebanon dan Afrika Selatan. Dua negara pemegang hak veto, Rusia dan Cina jelas-jelas menolak resolusi tersebut dengan menggunakan hak vetonya. Kebijakan Rusia dan Cina untuk memveto resolusi yang ditawarkan DK PBB terhadap Suriah merupakan suatu pukulan telak bagi DK PBB dan juga Uni Eropa selaku penggagas resolusi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi perpecahan di dalam tubuh DK PBB sendiri.
Penolakan Rusia ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama, Rusia merasa telah membuat kesalahan saat abstain ketika resolusi terhadap Libya digulirkan oleh DK PBB pada Maret 2011. Ini terlihat dari sikap Rusia yang mengecam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengenai operasi udara Barat di Libya beberapa waktu lalu. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menuduh NATO menginterpretasikan resolusi PBB sesuai dengan keinginannya. Bahkan dalam perundingan dengan Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen di pertemuan NATO-Rusia yang diselenggarakan di kota Sochi di Laut Hitam, Rusia, Juli 2011. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan “Sejauh ini, tidak ada pengertian bersama tentang bagaimana resolusi itu dilaksanakan. Kami ingin resolusi ini dilaksanakan secara benar tanpa memperluas interpretasi. Sejak NATO menjalankan resolusi PBB, kita telah membahas sejauh mana hukum internasional telah dihormati.”[3] Rusia beranggapan bahwa serangan NATO di Libya malah menambah daftar korban jiwa rakyat Libya.
Bahkan sebelum Khadafi lengser dari jabatannya, Rusia mengecam tindakan Amerika Serikat dan negara-negara lain yang telah mengakui pemberontak Libya 'Dewan Transisi Nasional' (NTC) sebagai pemerintah yang sah. Rusia tidak berniat untuk mengakui pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) sebagai otoritas resmi Libya, tapi bermaksud untuk memandangnya sebagai mitra negosiasi. Dalam pandangan Rusia, pengakuan negara-negara Barat dan kekuatan-kekuatan regional menentang pemerintah Libya dan mengorbankan rezim Muamar Khadafi di Tripoli, itu sama artinya dengan memilih berpihak dalam satu perang sipil.
Kekhawatiran Rusia ialah jika resolusi itu disetujui, maka akan disalahgunakan Barat untuk melakukan serangan militer asing ke Suriah, seperti yang terjadi di Libya. Rusia menegaskan, negaranya mengeluarkan veto karena resolusi itu tidak jelas dalam menekan Suriah dan tidak akan membantu meredakan konflik di negara Arab tersebut. [4] Resolusi yang ditawarkan Eropa dalam pandangan Rusia lebih berlandaskan filosofi konfrontasi, serta ancaman aksi yang tidak dapat diterima. Rusia menawarkan resolusi alternatif yang mengecam kekerasan oposisi serta Pemerintah Suriah, yaitu melalui jalan dialog untuk mengakhiri krisis.
Selain menolak resolusi tersebut, Rusia juga mengecam keputusan Uni Eropa yang memutuskan memboikot impor minyak Suriah untuk menekan Presiden Bashar al-Assad. Minyak menyumbang 25% pendapatan Suriah dan Uni Eropa menyerap 95% minyak produksi negeri yang tengah bergolak itu. Sehingga pemboikotan ini diharapkan akan memberi tekanan pada Presiden Bashar al-Assad. Namun bagi Rusia keputusan Uni Eropa yang berupa sanksi internasional  tidak akan membawa hasil apapun dalam meredakan krisis politik di Suriah.
Faktor kedua yang mempengaruhi mengapa Rusia menolak resolusi yang ditawarkan DK PBB terhadap Suriah adalah karena Suriah merupakan salah satu mitra dagang terbesar Rusia. Yevgeny Satanovsky Presiden Institut Studi Timur Tengah di Moskow mengatakan bahwa Rusia saat ini menjadi negara yang memiliki orientasi bisnis yang tinggi dan Pemerintah Rusia ingin melindungi investasinya yang ada di Suriah. Selain di bidang perdagangan, kerjasama kedua negara juga terjalin erat di bidang militer dan politik. Dalam satu artikel dari media Rusia, Moskow Times melaporkan, Investasi Rusia di Suriah pada 2009 lalu mencapai USD19,4 miliar atau sekira Rp1,7 triliun. Kerja sama yang diselenggarakan oleh Rusia dan Suriah umumnya merupakan perdagangan senjata, pembangunan infrastruktur, kerja sama energi, dan pariwisata.[5]
Jauh sebelum revolusi menggucang Timur Tengah, kerjasama militer antara Rusia dan Suriah sudah terjalin cukup erat. Sampai saat inipun Rusia terus mengekspor senjata ke Suriah meski adanya tekanan internasional untuk menghentikan perdagangan tersebut. Suriah selama ini merupakan importir utama senjata buatan Rusia. Mereka telah membeli jet tempur MiG-29M, dan sistem pertahanan udara Pantsir S1E dan Buk-M2E. Suriah juga berharap untuk menerima MiG-29SMT, pesawat latih tempur Yak-130, sistem rudal taktis Iskander, dan dua kapal selam diesel kelas Amur-1650. Rusia sebelumnya juga berjanji akan tetap menghormati kontrak 2007 tentang pengiriman beberapa rudal anti-kapal Yakhont Bastion dengan nilai 300 juta dolar AS,  meskipun ada upaya oleh Israel dan Amerika Serikat untuk menghentikan kesepakatan. [6]
Kepala Badan Ekspor Senjata Rusia atau Rosoboronexport, Anatoly Isaikin, mengatakan tidak ada sanksi dan larangan dari pemerintah untuk menjual senjata, maka untuk itu pengusaha wajib bertanggung jawab dalam memenuhi kontraknya. Berbicara pada pameran senjata internasional di Moskow, yang dihadiri Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Kepala Badan Eskspor Senjata Rusia, Anatoly Isaikin mengatakan Rusia memasok Suriah dengan jet pelatih Yak-130 dan perangkat keras militer. [7] Rusia terus berhubungan dekat dengan Suriah selama puluhan tahun dan tetap menjadi salah satu pemasok paling penting senjata bagi negara tersebut.










BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, di dapat kesimpulan sebagai berikut :
Rusia didukung China memveto resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB terkait keputusan untuk mengakhiri konflik yang terjadi di Suriah yang digagas oleh negara-negara Eropa. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor, pertama, Rusia tidak ingin mengulang kesalahan dengan memberikan jawaban abstain seperti ketika resolusi yang dirancang untuk Libya, sehingga resolusi tersebut akhirnya disalahgunakan oleh NATO untuk melegalkan serangannya di Libya.  Kedua, Suriah merupakan salah satu mitra dagang terbesar Rusia. Sehingga Rusia berusaha melindungi asset-aset nya. Jauh sebelum revolusi menggucang Timur Tengah, kerjasama militer antara Rusia dan Suriah sudah terjalin cukup erat. Sampai saat inipun Rusia terus mengekspor senjata ke Suriah
Atas dasar itulah mengapa Rusia begitu bersikeras untuk menolak resolusi DK PBB kepada Suriah. Serta mengecam segala bentuk sanksi internasional, karena menganggap hal  tidak akan membawa hasil apapun dalam meredakan krisis politik di Suriah. Ini semua tidak terlepas dari kepentingan nasional Rusia sendiri, seperti yang telah disebutkan diatas. Karena kebijakan politik luar negeri suatu negara merupakan representasi dari kebijakan politik dalam negeri negara itu sendiri.











[1] Dikutip dari http://www.sipbulletin.com,  Konflik Di Suriah Terus Memakan Korban”, diakses tanggal 9 Desember 2011.

[2] Dikutip dari http://ilearn.unand.ac.id, diakses tanggal 7 Desember 2011.

[3] dari http://www.rakyatmerdekaonline.com , “Rusia Vs NATO Cekcok Gara-gara Operasi Libya” diakses tanggal 7 Desember 2011.

[4] Dikutip dari http://www.seputar-indonesia.com “Rusia-China Veto Resolusi Suriah”, diakses tanggal 7 Desember 2011
[5] Dikutip dari http://international.okezone.com , “Inilah Alasan Mengapa Rusia Membela Suriah”, diakses tanggal 7 Desember 2011.
[6] Dikutip dari http://skalanews.com , “Kena Sanksi PBB, Suriah Cuek Dan Tetap Belanja Persenjataan ” diakses tanggal 7 Desember 2011.
[7] Dikutip dari http://wartatv.com , “Rusia Tetap Menjual Senjata ke Suriah” diakses tanggal 7 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar