Selasa, 11 November 2014

Menunggu Negeriku Membusuk !!!



Ayupria
Hujan pagi ini, benar-benar mengantarkan sebuah kabar kesedihan. Bersamanya, berita dari seberang datang ke pekarangan.Mengetuk tiap-tiap pintu nurani untuk sedia membuka hati, mempersilahkannya singgah untuk beberapa saat menyadarkan setiap jiwa yang tertidur. Aku menyambutnya, mendengarkan keluh kesahnya. Tentang negri yang tak lagi asri, porak poranda oleh mereka yang berkuasa. Tak ada lagi semilir angin kebahagiaan untuk orang-orang. Kebahagiaan serta keceriaan itu seakan meredup seiring tahun berganti, semakin buruk manakala mereka tak lagi dapat merasakan apalagi mendengar.

Tuhan, kenapa negriku seperti ini?
Aku meracau dalam tidur, aku mendendam dalam diam, dan aku mengumpat kala sempat. Semuanya seakan aku tak mengenalinya. Dimana jiwa-jiwa yang rajin itu, jiwa cerdas dengan etos kerja yang kuat. Dimana sesepuhku, leluhurku saat ini? Bisakah mereka kembali dan mengajarkan kepada anak cucunya tentang arti sebuah kekuatan? Keberanian?

Hiruk pikuk negri dengan segala gemerlapnya, gaya hidup, sekulerisme, kapitalisme..
Aku geram, geram sekali. Seakan ingin kumaki setiap penerus bangsa yang malas, yang banyak bicara tapi omong kosong. Seharusnya mereka akan lebih mudah hidup dalam dunia saat ini dibandingkan dengan seribu tahun yang lalu, namun kenyataannya, mereka justru menjadi keset wc di negeri sendiri. Muaka aku melihat anak sekolah yang kerjaannya nongkrong, bolos, merokok, tawuran, main gadget tiada kenal waktu. Ingin kutampari mereka semua. Mau jadi apa negeri ini kelak jika penerusnya seperti itu? Sedangkan orang-orang pendatang, mereka datang dengan segenap kekuatan penuh, melibas mereka yang tidak bisa mengikuti zaman. Oalah Gusti... kenapa tak kau musnahkan saja mereka ini?

Ketika pemerintahan sudah tak dapat terselamatkan, siapa yang peduli? Ketika Eksekutif, yudikatif dan legislatif sudah ditunggangi mereka yang gemar bagi-bagi korupsi, berjamaah pula. Hanya media yang mampu menyetir. Namun negriku ini istimewa Gusti, media tak lagi jujur. Mereka menadah koin-koin receh dari pemerintahan. Menerima pesanan berita setingan, berita busuk yang aku yakin kau tak akan sudi menciumnya. Sudahlah Gusti, tunggu apa lagi? Hancurkan saja negriku, toh memang sudah hancur, lalu kita menunggu apa? menunggu mereka sendiri yang meratakannya? Ah terlalu lama itu Gusti.


***

Jauh di pedalaman negeri, ketika padi tak mampu menyediakan nasi. Lumbung-lumbung sepi, dapur pun tak mengepul. Laki-laki menjadi pemalas, takut terik dan gemar meringkuk dalam sarungnya, maka inilah jelas pertanda kehancuran. Ibu, Ibu, Ibu.. sekali lagi Ibu.. mereka harus turun tangan membantu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Memastikan anak-anaknya tetap kenyang dan otak mereka bekerja dengan baik untuk belajar. Persetan dengan suaminya, mungkin dalam hati mereka pun akan menyumpahi mati saja kau suamiku. Dan laki-laki seperti ini memang seharusnya di eliminasi dari negeri ini, mereka perusak paling alami.

Anak-anak, tak lagi mendapatkan hak nya secara penuh. Tak lagi mendapatkan didikan yang baik secara penuh oleh Ibu mereka, bukan apa-apa, karena waktunya tersita untuk mengurusi remeh temeh, urusan dapur dan dompet. Anak-anak menjadi kurang kasih sayang, kurang didikan, kurang motivasi, bahkan terburuk adalah meniru ayahnya. Ini belumlah separah yang akan kuceritakan pada bait selanjutnya.

Indonesia terkenal akan ekspornya, sayangnya ekspor disini adalah ekspor manusia, ya..buruh-buruh rumah tangga berpendidikan rendah. Nekat berangkat dari kampung, berharap nasib yang lebih baik untuk keluarga mereka. Rumah bagus, motor bagus, sawah ladang yang luas. Tapi mereka kehilangan harta yang sesungguhnya, anak mereka. Sedangkan sang suami leha-leha menyeruput kopi menghisap rokok, tidur nyenyak di kasur empuk. Cukuplah sang anak diberi lembaran pak karno untuk jajan sesukanya. Tanpa peduli akan dipakai untuk apa uang itu, tanpa peduli mereka juga butuh kasih sayang. Bahkan sedikit sekali ayah yang peduli anaknya sekolah atau tidak. Sampai akhirnya menghasilkan beribu bahkan berjuta pemuda generasi otak rendah. Gampang dibodohi, gampang ditipu, gampang diperdayai dan dipermainkan oleh mereka yang cerdas, sampai akhirnya mereka menjadi keset di negeri sendiri.

Rumah dan ladang yang dicari bertahun tahun akhirnya hilang juga, tergusur proyek mereka yang cerdas. Otak sudah hilang, harta pun habis. Percuma dan kesia-sia an upaya yang telah dilakukan si Ibu. Hanya menyesal meratapi nasib. 

***

Kenapa sih tidak ada yang membuka mata?
Kenapa sih tidak ada yang Peka?
Kenapa untuk masuk ke perusahaan seleksinya ketat, sedangkan untuk menjadi guru ecek-ecek.
Kenapa sih guru yang bagus harus melewati tahap pns kalau nyatanya pns sendiri sebagai ladang korupsi
Kenapa sih mereka yang benar-benar berdedikasi untuk negeri justru tak menerima imbal yang patut

Ibu..dan Guru.. 
Mereka adalah mesin pencetak generasi hebat, tolong perhatikan baik-baik kualitas mereka
jangan sampai kesalahan akan terus berlanjut dan tinggal menunggu waktu untuk kita menjadi keset sejati

Ayupria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar