Kamis, 20 Februari 2014

Ketika Agama dan Moral Raib Entah Kemana




Ayupria S

Ini adalah sebuah kisah, kisah nyata, dimana kita bisa memulai membuka mata untuk melihat realita di sekeliling kita. Realita yang bukan hanya sekedar ada di sinetron. Tapi Sinetron lah yang meniru, yang mengabadikannya kedalam alur sebuah cerita yang dibumbui sejumput kisah pemanis diatasnya.

Ketika kita mulai beranjak dewasa, diantara masa peralihan dari menuntut pendidikan, mencari jati diri dengan kenyataan hidup yang ada. Nyatanya, teori yang kita pelajari di sekolah selama bertahun-tahun, berbeda jauh dengan praktiknya. Apalagi teori kewarganeraan, PPKN, PMP. Halah apa sih itu, ternyata semua Cuma karangan belaka. Padahal dulu kita selalu siang malam sampai mampus menghafal untuk ujian. Nilai delapan sudah lumayan, nilai enam kebangetan. Tapi toh nyatanya yang pernah meraih nilai sepuluh belum tentu lebih baik praktiknya dengan yang nilai enam kan? Padahal dulu kita sibuk dicaci maki sana sini kalau sampai kewarganegaraan dapat enam. Sekarang, rasanya saya pengin sekali ganti mencaci yang mendapat nilai sepuluh tapi perilakunya sama sekali mendapat dua saja masih terlalu bagus.

Nah kembali ke awal cerita. Berhubung saya adalah seorang blogger, maka mulut saya ya Cuma ada disini. Cuat cuit, berkoar-koar ba bi bu, ya Cuma disini, masuk Koran kan ngga mungkin banget. Disini saya ingin bercerita tentang bobroknya birokrasi di sebuah desa. Desa terpencil yang mungkin dip eta saja tidak ada. Sebut saja itu adalah desa “N”.

Desa N merupakan desa dengan lahan pertanian yang sangat luas. Saking luasnya, luas wilayah yang ditempati penduduk dengan luas sawahnya lebih luasan sawahnya. Namun, sayangnya petani disini banyak yang kurang memaksimalkan lahan sehingga hasil yang didapatkan juga pas-pas an. Menjadi buruh di desa ini adalah suatu kehormatan, mungkin. Mereka seringkali jual mahal ketika permintaan terhadap tenaga mereka melonjak. Memasang tarif sangat tinggi, hingga mengerjakan asal-asalan. Pernah suatu ketika ibu saya kekurangan tenaga untuk menggarap sawahnya, dicarilah para tenaga itu, pertama OK, sehari sebelum hari H tiba-tiba membatalkan secara sepihak karena ada tetangga yang berani bayar dua hingga tiga kali lipat, kampret. Akhirnya sejak saat itu, ibu saya lebih suka memakai tenaga buruh tetangga desa untuk  membantu menyelesaikan pekerjaan. Akan tetapi, masih ada juga segelintir buruh yang memang jujur dan dapat dipercaya, serta memasang tariff yang wajar. Buruh seperti ini biasanya sudah di booking jauh-jauh hari oleh para pemilik lahan.

Kedua, keamanan di desa ini mungkin bisa dibilang kacau. Hukum tidak terlalu berpengaruh kuat. Nyatanya tetangga saya banyak yang mencuri tanah, mengganggu ketenangan dengan melempari batu sampai menembak burung sesuka hati diatas rumah orang. Yang paling oke punya adalah perjudiannya. Sudah jangan ditanya lagi, dari mulai adu ayam, adu burung hingga adu apalagi ya? Ah asal jangan adu istri saja. Kepala desa bukannya tidak tahu, tapi justru ikut bergabung dengan perjudian ini, ada polisi tinggal diajak kompromi, selesai. Bukannya masalah pendidikan yang menjadi hambatan si kepala desa, kalau dipikir si kepala desa ini berasal dari keluarga orang cukup terpandang di desa ini, kuliah lagi. Menurut berita yang beredar, kabar burung lah ceritanya, kemenangan si kepala desa ini didapat dari kecurangan. Jadi pada saat pagi hari para pemilih hendak mencoblos calon lurah, para calon ini telah menyiapkan mobil untuk menjemput para pemilih. Dan..saat di dalam mobil itulah mereka diberi uang dengan disumpah untuk memilih si A, B atau C misalnya. Calon lain sudah member uang beberapa hari yang lalu, tapi yang member paling banyak dan paling terakhirlah yang menang bukan? Licik atau pintar? Apalagi dengan latar belakang masyarakat yang mata duitan. Maklum lah, keterbatasan pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang pemilu yang adil hingga latar belakang ekonomi menjadi penyebabnya, plus miskin pengetahuan agama.

Persoalan ketiga yang ingin saya soroti adalah agama. Agama di desa ini sudah mulai berangsur membaik setelah sekian lama “nyenyet”. Masjid sudah mulai ramai, meskipun adzan kadang terdengar kadang tidak. Majelis taklim yang diadakan atas inisiatif ulama setempat juga paling banter didatangi sepuluh orang, selebihnya paling cuma beberapa. Itu juga paling-paling pengurus masjidnya. Saya acungi jempol empat buat pak ustadz yang rela jauh-jauh datang berdakwah di desa suram ini, meskipun terkadang yang datang Cuma beberapa. Saya tahu beliau pasti kecewa, tapi kegigihannya juga patut diapresiasi kan.

Saya dulu pernah merasa frustasi, selepas pendidikan saya, bukankah seharusnya seperti teori begini begitu. Kok ini justru melenceng jauh? Apakah mereka tidak tahu atau memang aturan dibuat untuk dilanggar. Katanya mencuri itu dosa, tapi kok mangga pisang di sebelah rumah hilang terus. Katanya judi itu dilarang, kok lurahnya saja ikut. Katanya jangan pandang orang dari luarnya, tapi kok tetanggaku yang kumal dan miskin tidak dihormati, kok mereka dianggap sebelah mata. Bahkan jika ada yang jelek sedikit, begitu banyak yang mencaci dan menghujat, seakan itu memang pantas disandang si kumal dan miskin. Sedangkan temanku yang satu lagi, keluarganya cukup berada, sering memfitnah orang, melabrak orang, ganjennya amit-amit justru dipandang baik. Padahal hampir nama orang sekampung pernah diceritakan keburukannya, bahkan yang detail sekalipun. Bigos mungkin lebih cocoknya ya?

Perilaku suami terhadap istri juga bisa dibilang tidak layak, menurut saya. Mayoritas wanita disini bekerja sebagai TKW ke luar negeri. Mengadu nasib dan peruntungan di negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Sayangnya, perjuangan mereka tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Disaat para istri berjuang, sang suami dengan nyamannya malas-malasan, bersantai, merokok, berjudi bahkan sampai main perempuan. Anak-anak terlantar, hanya diasuh sang kakek atau nenek, itupun jika mereka masih ada. Selebihnya mereka hanya diberi uang uang dan uang serta sebuah motor untuk ugal-ugalan. Membolos sekolah sudah biasa, merokok usia dini menjadi hal wajar, kongkow dengan para preman menjadi rutinitas. Tidak ada itu jam belajar, hanya sedikit orang tua yang benar-benar peduli dengan pendidikan maupun gizi sang anak.

Saya sendiri, bukannya saya merasa paling benar. Saya pun banyak kekurangan. Saya merasa tidak baik, dan akan menjadi sangat tidak baik jika tetap berada di tempat itu. Itulah alasannya kenapa saya tidak betah hidup di tempat itu. Saya merasa akan lebih baik meninggalkan desa itu, dan saya tidak akan kembali menetap sebelum saya memiliki kemampuan untuk merubah perilaku mereka semua. Saya bercita-cita menjadi diplomat, supaya dapat membantu saudara-saudara perempuan saya yang berjuang di luar negeri sana. Selain itu, saya pun ingin menjadi seorang ustadzah sehingga dapat memberi pencerahan kepada warga desa N ini. Supaya mereka sadar apa yang telah mereka lakukan sudah jauh melenceng dan berharap mereka semua kembali ke jalan yang benar. Membuat desa N asri kembali dengan lingkungan yang agamis serta penuh toleransi. Amin

2 komentar: